NUTRITION
AND CHRONIC KIDNEY DISEASE
Insiden gangguan gizi buruk pada penyakit ginjal kronis (CKD) tidak
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sedangkan perawatan pasien dan teknik
dialisis terus
berkembang. Meskipun beberapa
bukti telah menunjukkan adanya pengobatan dengan cost
effective, namun hal ini masih menuai protes untuk melakukan penerapan terhadap
penelitian ini pada penatalaksanaan sehari-hari. Ada beberapa
data mengkonfirmasikan bahwa terjadi peningkatan metabolisme ketika pasien
melakukan kontrol asupan protein,
bahkan pada tahap awal CKD. Baru-baru ini protein-energy
wasting nomenclature melakukan suatu pendekatan sederhana terhadap diagnosis
dan penyebab kekurangan gizi. Selama pemeliharaan dialisis, pemberian
protein optimal dan energi intake menjadi pusat perhatian dan tidak ada
lagi indikasi untuk mengontrol hiperfosfatemia melalui pembatasan diet.
Pengukuran terbaru dari pengeluaran energi (energy
expenditure) pada pasien yang menjalani dialisis menunjukkan aktivitas fisik yang sangat rendah
mempengaruhi kebutuhan energi. Akhirnya,
inflamasi yang terjadi selama CKD,
dipengaruhi oleh asupan gizi dan katabolisme,
akan tetapi pemberian intervensi terhadap nutrisi bukan merupakan sebuah
kontraindikasi.
Setelah hemodialisis diperkenalkan pertama kali
di awal tahun enam puluhan, timbul beberapa pertanyaan: bagaimana untuk mengontrol tekanan darah dengan
baik? bagaimana mengelola anemia kronis? dan nutrisi apa yang dapat dianjurkan untuk
pasien ini. Lima puluh tahun kemudian pada tahun 2010, dua permasalahan pertama telah dapat
dipecahkan. Sebaliknya, masih
banyak yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya pemborosan energi
dan protein. Studi epidemiologi melaporkan bahwa dari 30 kasus, 50% dari
pasien tersebut mengalami tanda-tanda malnutrisi.
Apa tanda-tanda dari energy-protein
wasting? Apakah
gejala ini sudah ada sebelum dialisis? Dan apakah
ada acara yang memungkinkan untuk memperbaiki kelainan ini dan
bagaimana? Dalam ulasan ini,
kita akan mencoba untuk menjawab beberapa poin pentingnya.
Chronic Kidney Disease: Asupan Protein Mana yang diberikan sebelum
Maintenance Dialysis?
Sekarang ada bukti bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) harus
mengontrol asupan protein mereka untuk mencapai pertahanan tubuh yang optimal. Sebagian besar di seluruh dunia merekomendasikan tunjangan harian protein adalah 0,6-0,8 g/kgBB/hari pada
pasien CKD dengan atau tanpa diabetes. Uji klinis dikonfirmasi pada penelitian meta-analisis pada jumlah besar (misalnya, lebih dari 2000 pasien) menunjukkan bahwa tunjangan harian tersebut efektif dan aman untuk mengurangi asupan protein dari western-type diet, yang terdiri dari sekitar 1,3-1,4 g protein/kgBB/hari. Hal ini sangat penting pada pasien dengan proteinuria, termasuk nefropati diabetik, karena setiap kenaikan asupan protein akan meningkatkan resiko terjadinya proteinuria, dengan peningkatan per sekian kali menjadi faktor risiko untuk perkembangan CKD. Sebaliknya dengan mengurangi asupan protein dapat menurunkan proteinuria yang sama efisiennya dengan angiotensin converting enzyme inhibitor dan meningkatkan serum profil lipid. Dengan demikian, berdasarkan dengan proteinuria, ada hal yang kuat untuk mengontrol asupan protein.
pasien CKD dengan atau tanpa diabetes. Uji klinis dikonfirmasi pada penelitian meta-analisis pada jumlah besar (misalnya, lebih dari 2000 pasien) menunjukkan bahwa tunjangan harian tersebut efektif dan aman untuk mengurangi asupan protein dari western-type diet, yang terdiri dari sekitar 1,3-1,4 g protein/kgBB/hari. Hal ini sangat penting pada pasien dengan proteinuria, termasuk nefropati diabetik, karena setiap kenaikan asupan protein akan meningkatkan resiko terjadinya proteinuria, dengan peningkatan per sekian kali menjadi faktor risiko untuk perkembangan CKD. Sebaliknya dengan mengurangi asupan protein dapat menurunkan proteinuria yang sama efisiennya dengan angiotensin converting enzyme inhibitor dan meningkatkan serum profil lipid. Dengan demikian, berdasarkan dengan proteinuria, ada hal yang kuat untuk mengontrol asupan protein.
Membatasi asupan protein berhubungan
dengan penurunan wasted product dan racun uremik, tingkat BUN dan
beban asam. Konsekuensi
metabolik pada pembatasan diet protein telah banyak ditinjau seperti penurunan stres oksidatif, ameliorasi resistensi
insulin, kontrol yang lebih baik dari
gangguan tulang metabolik pada respon untuk menurunkan beban fosfat dalam tubuh, dan selanjutnya peningkatan
kontrol anemia.
Nutrisi yang aman pada kontrol asupan
protein
CKD berhubungan
dengan protein-energy
wasting, nutritional safety seperti seperti pengurangan protein telah dipertanyakan. Muscle wasting berkaitan
dengan CKD dan
peningkatan dependensi, mortalitas, dan morbiditas pada pasien. Dari sudut pandang dasar, kita harus mencari hubungan langsung antara pengurangan asupan protein dan
atrofi otot. Sayangnya, pendekatan ini tidak secara klinis relevan: muscle wasting pada penyakit kronis terutama disebabkan ketidakseimbangan antara sintesis protein dan degradasi, dan akan lebih diperburuk dengan inaktifitas. Selain itu, asidosis dan aktivasi ubiquitin-proteasome pathway berkaitan dengan inflamasi dan resistensi insulin yang merupakan faktor utama dari muscle wasting. Mengurangi asupan protein merupakan hal yang dapat meningkatkan kondisi katabolik. Memang, kontrol yang lebih baik dari asidosis metabolik akibat penurunan beban asam mengarah ke normalisasi adaptive response untuk diet
pembatasan protein, seperti yang telah jelas didemonstrasikan dalam model hewan, CKD, dan pasien dialisis, dan tampaknya menguntungkan pada perkembangan CKD. Resistensi insulin adalah terkait dengan pemecahan protein otot di stadium akhir penyakit ginjal dan dapat membaik setelah 3 bulan diet rendah protein (Low Protein Diet). Data eksperimen terbaru menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen urea darah (BUN) menginduksi produksi spesies oksigen reaktif dan meningkatkan resistensi insulin.
peningkatan dependensi, mortalitas, dan morbiditas pada pasien. Dari sudut pandang dasar, kita harus mencari hubungan langsung antara pengurangan asupan protein dan
atrofi otot. Sayangnya, pendekatan ini tidak secara klinis relevan: muscle wasting pada penyakit kronis terutama disebabkan ketidakseimbangan antara sintesis protein dan degradasi, dan akan lebih diperburuk dengan inaktifitas. Selain itu, asidosis dan aktivasi ubiquitin-proteasome pathway berkaitan dengan inflamasi dan resistensi insulin yang merupakan faktor utama dari muscle wasting. Mengurangi asupan protein merupakan hal yang dapat meningkatkan kondisi katabolik. Memang, kontrol yang lebih baik dari asidosis metabolik akibat penurunan beban asam mengarah ke normalisasi adaptive response untuk diet
pembatasan protein, seperti yang telah jelas didemonstrasikan dalam model hewan, CKD, dan pasien dialisis, dan tampaknya menguntungkan pada perkembangan CKD. Resistensi insulin adalah terkait dengan pemecahan protein otot di stadium akhir penyakit ginjal dan dapat membaik setelah 3 bulan diet rendah protein (Low Protein Diet). Data eksperimen terbaru menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen urea darah (BUN) menginduksi produksi spesies oksigen reaktif dan meningkatkan resistensi insulin.
Asupan Proten dan Stres Oksidatif
Stres oksidatif dan peningkatan regulasi metabolisme oksidatif merupakan
salah satu faktor utama yang bertanggung jawab untuk sarcopenia pada
penyakit kronis dan penuaan.
Data terakhir menunjukkan bahwa stres
oksidatif berhubungan dengan gangguan
fungsi otot yang parah walaupun tanpa disertai atrofi
otot. Selain itu,
stres oksidatif mungkin merupakan
salah satu faktor utama yang memperburuk glomerulosklerosis dan fibrosis selama
CKD. Asupan protein
rendah memberikan perlindungan
terhadap stres oksidatif. Pada pasien CKD yang diobati dengan LPD atau diberikan asupan protein yang sangat
rendah (Supplemented Very Low Protein Diet),
studi jangka panjang pada komposisi
tubuh
tidak menemukan efek buruk dari diet tersebut pada otot atau pada lean body mass.
tidak menemukan efek buruk dari diet tersebut pada otot atau pada lean body mass.
Kualitas asupan protein (dan
tidak hanya kuantitas) harus juga ditangani.
Pertama, meskipun perdebatan dan kontroversi, studi klinis pada pasien yang menerima LPD (0,6-0,8 g / kg / hari)
atau SVLPD (0,3-0,6 g / kg / hari, ditambah dengan asam amino atau keto-analog) adalah nutrisi yang aman, tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi, sebagai respons terhadap adaptasi metabolik yang memadai. Dalam Modifikasi Diet pada penelitian Penyakit Ginjal, 9 bulan setelah selesai penelitian, didapatkan mean serum albumin adalah 42 g / l, dan pada 239 pasien dari Bordeaux kohort, hanya dua pasien yang menghentikan diet SVLPD
untuk alasan kekurangan gizi, sedangkan serum albumin rata-rata pada awal terapi penggantian ginjal adalah 39 g / l.
atau SVLPD (0,3-0,6 g / kg / hari, ditambah dengan asam amino atau keto-analog) adalah nutrisi yang aman, tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi, sebagai respons terhadap adaptasi metabolik yang memadai. Dalam Modifikasi Diet pada penelitian Penyakit Ginjal, 9 bulan setelah selesai penelitian, didapatkan mean serum albumin adalah 42 g / l, dan pada 239 pasien dari Bordeaux kohort, hanya dua pasien yang menghentikan diet SVLPD
untuk alasan kekurangan gizi, sedangkan serum albumin rata-rata pada awal terapi penggantian ginjal adalah 39 g / l.
Keuntungan dari dukungan nutrisi
Kebanyakan pasien yang memulai terapi penggantian ginjal tanpa melakukan
follow up diet sebelumnya menunjukkan adanya gejala malnutrisi,
misalnya, kehilangan berat badan, perubahan pada antropometri, dan parameter nutrisi laboratorium. Adanya perawatan gizi yang terencana sebelumnya tampaknya
menjadi faktor protektif utama
terhadap progresifitas dari wasting.
Pertama, dukungan nutrisi dan informasi pasien adalah
faktor kunci untuk memastikan motivasi
dan kepatuhan terhadap diet.
Fakta ini telah dijelaskan
pada Campbell et al.,
menggunakan analisis komposisi tubuh dan
penilaian global secara subjektif.
Kedua, pada uji klinis, LPD biasanya
terdiri dari Protein 50% dari nilai biologis
yang tinggi (seperti daging, ikan, atau telur).
Dalam kasus CKD dengan pemberian SVLPD, tidak
ada gizi buruk yang terjadi dan
pada survei jangka panjang
selama atau setelah dimulainya terapi penggantian ginjal
tidak menunjukkan adanya risiko
yang relatif lebih besar dari
kematian.
Ketiga, pada penelitian
menggunakan hewan sebagai bahan percobaan dan penelitian pada
pasien usia lanjut diperlukan perhatian pada kualitas protein dan
pentingnya asupan asam amino. Memang,
pada orang tua, asupan protein lebih tinggi dari 0,8 g / kg / hari untuk menghindari sarcopenia karena resistensi relatif
otot terhadap efek anabolik dari beban asam amino.
Namun, resistensi ini dapat
dihambat dengan menggunakan campuran asam amino, terutama
yang diperkaya dengan asam
amino rantai cabang, yaitu leusin, isoleusin,
dan valine. Sebuah bukti tidak langsung menunjukkan adanya pengaruh
asam amino pada
CKD terkait dengan sarcopenia yang tercermin pada pengamatan bahwa, pada pasien dialisis,
resistensi training effect pada
metabolisme otot ditingkatkan bila dikombinasikan dengan nutrisi parenteral
intradialisis. Pada pasien tua, sarcopenia
sebagian disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif. Pada tikus yang dilakukan nefroktomi, peningkatan stres oksidatif disebabkan oleh kekurangan gizi protein yang merusak barrier filtrasi dari glomerulus
dan suplementasi dengan asam
keton.
Sehingga, studi klinis menggunakan LPD atau SVLPD perlu dipertimbangkan atau diberikan pada asupan
energi. Survei diet khusus
dilakukan untuk memastikan jumlah kalori yang cukup, misalnya, 35 kcal / kg / hari. Kesimpulannya,
efek menguntungkan dari mengurangi
asupan protein dengan nilai-nilai
yang optimal dikaburkan oleh kurangnya kepercayaan dokter, ahli diet, dan
tingkat pendidikan pasien. Dukungan
nutrisi harus diberikan dan
memiliki biaya yang rendah untuk keperluan terapi dalam jangka waktu yang lama.
Protein-Energy Wasting: Bagaimana cara
memonitoring risiko nutrisi dan meningkatkan outcome?
Salah satu efek samping utama dari penyakit ginjal adalah anoreksia
dan pengurangan asupan
protein-energi dalam tubuh yang sudah ada pada tahap III
dari CKD dan selama dialysis. Sejumlah orexigenic
atau hormon anorexigenic
dysregulations (leptin, ghrelin, peptida YY,
dan obestatin) telah
dibuktikan dapat berperan dalam terjadinya anoreksia
pada orang dewasa yang sehat dan pasien. Pemberian ghrelin rekombinan selama 7
hari telah menunjukkan peningkatan asupan energi makanan sebesar 25% pada
kasus malnutrisi pada pasien
hemodialisis. Menariknya, Cheung et al. Menyatakan disfungsi hypothalamic appetite-regulating sensors
hemodialisis. Menariknya, Cheung et al. Menyatakan disfungsi hypothalamic appetite-regulating sensors
No comments:
Post a Comment