Wednesday, October 15, 2014

Journal Reading : Nutrition And Chronic Kidney Disease

NUTRITION AND CHRONIC KIDNEY DISEASE

Insiden gangguan gizi buruk pada penyakit ginjal kronis (CKD) tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sedangkan perawatan pasien  dan teknik dialisis  terus berkembang. Meskipun beberapa bukti telah menunjukkan adanya pengobatan dengan cost effective, namun hal ini masih menuai protes untuk melakukan penerapan terhadap penelitian ini pada penatalaksanaan sehari-hari. Ada beberapa data mengkonfirmasikan bahwa terjadi peningkatan metabolisme ketika pasien melakukan kontrol asupan protein, bahkan pada tahap awal CKD. Baru-baru ini protein-energy wasting nomenclature melakukan suatu pendekatan sederhana terhadap diagnosis dan penyebab kekurangan gizi. Selama pemeliharaan dialisis, pemberian protein optimal dan energi intake menjadi pusat perhatian dan tidak ada lagi indikasi untuk mengontrol hiperfosfatemia melalui pembatasan diet. Pengukuran terbaru dari pengeluaran energi (energy expenditure) pada pasien yang menjalani dialisis menunjukkan aktivitas fisik yang sangat rendah mempengaruhi kebutuhan energi. Akhirnya, inflamasi yang terjadi selama CKD, dipengaruhi oleh  asupan gizi dan katabolisme, akan tetapi pemberian intervensi terhadap nutrisi bukan merupakan sebuah kontraindikasi.
Setelah hemodialisis diperkenalkan pertama kali di awal tahun enam puluhan, timbul beberapa pertanyaan: bagaimana untuk mengontrol tekanan darah dengan baik? bagaimana mengelola anemia kronis?  dan nutrisi apa yang dapat dianjurkan untuk pasien ini. Lima puluh tahun kemudian pada tahun 2010, dua permasalahan pertama telah dapat dipecahkan. Sebaliknya, masih banyak yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya pemborosan energi dan protein. Studi epidemiologi melaporkan bahwa dari 30 kasus, 50% dari pasien tersebut mengalami tanda-tanda malnutrisi. Apa tanda-tanda dari energy-protein wasting?  Apakah gejala ini sudah ada sebelum dialisis? Dan apakah ada acara yang memungkinkan untuk memperbaiki kelainan ini dan bagaimana? Dalam ulasan ini, kita akan mencoba untuk menjawab beberapa poin pentingnya.
Chronic Kidney Disease: Asupan Protein Mana yang diberikan sebelum Maintenance Dialysis?
Sekarang ada bukti bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) harus mengontrol asupan protein mereka untuk mencapai pertahanan tubuh yang optimal.  Sebagian besar  di seluruh dunia merekomendasikan tunjangan harian protein adalah 0,6-0,8 g/kgBB/hari pada
pasien CKD dengan atau tanpa diabetes. Uji klinis dikonfirmasi pada penelitian meta-analisis pada jumlah besar (misalnya, lebih dari 2000 pasien) menunjukkan bahwa tunjangan harian tersebut efektif dan aman untuk mengurangi asupan protein dari western-type diet, yang terdiri dari sekitar 1,3-1,4 g protein/kgBB/hari. Hal ini sangat penting pada pasien dengan proteinuria, termasuk nefropati diabetik, karena setiap kenaikan asupan protein akan meningkatkan resiko terjadinya proteinuria, dengan peningkatan per sekian kali menjadi faktor risiko untuk perkembangan  CKD.  Sebaliknya dengan mengurangi asupan protein dapat menurunkan proteinuria yang sama efisiennya dengan  angiotensin converting enzyme inhibitor dan meningkatkan serum profil lipid. Dengan demikian, berdasarkan dengan proteinuria, ada hal yang kuat untuk mengontrol asupan protein.
Membatasi asupan protein berhubungan dengan penurunan wasted product dan racun uremik, tingkat BUN dan beban asam. Konsekuensi metabolik pada pembatasan diet protein telah banyak ditinjau seperti penurunan stres oksidatif, ameliorasi resistensi insulin, kontrol yang lebih baik dari gangguan tulang metabolik pada respon untuk menurunkan beban fosfat dalam tubuh, dan selanjutnya peningkatan kontrol anemia.
Nutrisi yang aman pada kontrol asupan protein
CKD berhubungan dengan protein-energy wasting, nutritional safety seperti seperti pengurangan protein telah dipertanyakan. Muscle wasting berkaitan dengan CKD dan
peningkatan dependensi, mortalitas, dan morbiditas pada pasien. Dari sudut pandang dasar, kita harus mencari hubungan langsung antara pengurangan asupan protein dan
atrofi otot. Sayangnya, pendekatan ini tidak secara klinis relevan: muscle wasting pada penyakit kronis terutama disebabkan ketidakseimbangan antara sintesis protein dan degradasi, dan akan lebih diperburuk dengan inaktifitas. Selain itu, asidosis dan aktivasi ubiquitin-proteasome pathway berkaitan dengan inflamasi dan resistensi insulin yang merupakan faktor utama dari muscle wasting. Mengurangi asupan protein merupakan hal yang dapat meningkatkan kondisi katabolik. Memang, kontrol yang lebih baik dari asidosis metabolik akibat penurunan beban asam mengarah ke normalisasi adaptive response untuk diet
pembatasan protein, seperti yang telah jelas didemonstrasikan dalam model hewan, CKD, dan pasien dialisis,  dan tampaknya menguntungkan pada perkembangan CKD. Resistensi insulin adalah terkait dengan pemecahan protein otot di stadium akhir penyakit ginjal dan dapat membaik setelah 3 bulan diet rendah protein (Low Protein Diet). Data eksperimen terbaru menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen urea darah (BUN) menginduksi produksi spesies oksigen reaktif dan meningkatkan resistensi insulin.
Asupan Proten dan Stres Oksidatif
Stres oksidatif dan peningkatan regulasi metabolisme oksidatif merupakan salah satu faktor utama yang bertanggung jawab untuk sarcopenia pada penyakit kronis dan penuaan. Data terakhir menunjukkan bahwa stres oksidatif berhubungan dengan gangguan fungsi otot yang parah walaupun tanpa disertai atrofi otot.  Selain itu, stres oksidatif mungkin merupakan salah satu faktor utama yang memperburuk glomerulosklerosis dan fibrosis selama CKD. Asupan protein rendah memberikan perlindungan terhadap stres oksidatif. Pada pasien CKD yang diobati dengan LPD atau diberikan asupan protein yang sangat rendah (Supplemented Very Low Protein Diet), studi jangka panjang pada komposisi tubuh 
tidak menemukan efek buruk dari diet tersebut pada otot atau pada lean body mass.
Kualitas asupan protein (dan tidak hanya kuantitas) harus juga ditangani. Pertama, meskipun perdebatan dan kontroversi, studi klinis pada pasien yang menerima LPD (0,6-0,8 g / kg / hari)
atau SVLPD (0,3-0,6 g / kg / hari, ditambah dengan asam amino atau keto-analog) adalah nutrisi yang aman, tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi, sebagai respons terhadap adaptasi metabolik yang memadai. Dalam Modifikasi Diet pada penelitian Penyakit Ginjal, 9 bulan setelah selesai penelitian, didapatkan mean serum albumin adalah 42 g / l, dan pada 239 pasien dari Bordeaux kohort, hanya dua pasien yang menghentikan diet SVLPD
untuk alasan kekurangan gizi, sedangkan  serum albumin rata-rata pada awal terapi penggantian ginjal adalah 39 g / l.
Keuntungan dari dukungan nutrisi
Kebanyakan pasien yang memulai terapi penggantian ginjal tanpa melakukan follow up diet sebelumnya menunjukkan adanya gejala malnutrisi, misalnya, kehilangan berat badan, perubahan pada antropometri, dan parameter nutrisi laboratorium. Adanya perawatan gizi yang terencana sebelumnya tampaknya menjadi faktor protektif utama terhadap progresifitas dari wasting. Pertama, dukungan nutrisi dan informasi pasien adalah faktor kunci untuk memastikan motivasi dan kepatuhan terhadap diet. Fakta ini telah dijelaskan pada Campbell et al., menggunakan analisis komposisi tubuh dan penilaian global secara subjektif. Kedua, pada uji klinis, LPD biasanya terdiri dari Protein 50% dari nilai biologis yang tinggi (seperti daging, ikan, atau telur). Dalam kasus CKD dengan pemberian SVLPD, tidak ada gizi buruk yang terjadi dan pada survei jangka panjang selama atau setelah dimulainya terapi penggantian ginjal  tidak menunjukkan adanya risiko yang relatif lebih besar dari kematian.
Ketiga, pada penelitian menggunakan hewan sebagai bahan percobaan dan penelitian pada pasien usia lanjut diperlukan perhatian pada kualitas protein dan pentingnya asupan asam amino. Memang, pada orang tua, asupan protein lebih tinggi dari 0,8 g / kg / hari untuk menghindari sarcopenia karena resistensi relatif otot terhadap efek anabolik dari beban asam amino. Namun, resistensi ini dapat dihambat dengan menggunakan campuran asam amino, terutama yang diperkaya dengan asam amino rantai cabang, yaitu leusin, isoleusin, dan valine. Sebuah bukti tidak langsung menunjukkan adanya pengaruh asam amino pada CKD terkait dengan sarcopenia yang tercermin pada pengamatan bahwa, pada pasien dialisis, resistensi training effect pada metabolisme otot ditingkatkan bila dikombinasikan dengan nutrisi parenteral intradialisis. Pada pasien tua, sarcopenia sebagian disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif. Pada tikus yang dilakukan nefroktomi, peningkatan stres oksidatif disebabkan oleh kekurangan gizi protein yang merusak barrier filtrasi dari glomerulus dan suplementasi dengan asam keton.
Sehingga, studi klinis menggunakan LPD atau SVLPD perlu dipertimbangkan atau diberikan pada asupan energi. Survei diet khusus dilakukan untuk memastikan jumlah kalori yang cukup, misalnya, 35 kcal / kg / hari. Kesimpulannya, efek menguntungkan dari mengurangi asupan protein dengan nilai-nilai yang optimal dikaburkan oleh kurangnya kepercayaan dokter, ahli diet, dan tingkat pendidikan pasien. Dukungan nutrisi harus diberikan dan memiliki biaya yang rendah untuk keperluan terapi dalam jangka waktu yang lama.
Protein-Energy Wasting: Bagaimana cara memonitoring risiko nutrisi dan meningkatkan outcome?
Salah satu efek samping utama dari penyakit ginjal adalah anoreksia dan pengurangan asupan protein-energi dalam tubuh yang sudah ada pada tahap III dari CKD dan selama dialysis. Sejumlah orexigenic atau hormon anorexigenic dysregulations (leptin, ghrelin, peptida YY, dan obestatin) telah dibuktikan dapat berperan dalam terjadinya anoreksia pada orang dewasa yang sehat dan pasien. Pemberian ghrelin rekombinan selama 7 hari telah menunjukkan peningkatan asupan energi makanan sebesar 25% pada kasus malnutrisi pada pasien
hemodialisis. Menariknya, Cheung et al. Menyatakan disfungsi hypothalamic appetite-regulating sensors


No comments:

Post a Comment