Wednesday, October 15, 2014

Journal Reading : Neuroimaging of Infections

GAMBARAN NEUROIMAGING PADA INFEKSI

Ringkasan : neuroimaging memegang peranan penting dalam hal diagnosis dan penentuan terapi dalam penyakit infeksi pada system saraf. Tinjauan ini meringkas temuan pada gambaran dan kemajuan terbaru dalam diagnosis dari pyogenic brain abscess, ventrikulitis, penyakit virus termasuk didalamnya virus eksotik, emergent virus dan penyakit oportunistik. Dalam setiap kondisi, langkah-langkah terapi yang meyakinkan dapat disajikan. Dalam kasus uncomplicated meningitis, cranial computed tomography (CT-Scan) tampaknya cukup untuk penanganan klinis untuk menyingkirkan kemungkinan acute brain edema, hydrocephalus, dan kelainan dari basis kranii. Magnetic Resonance imaging (MRI) menjadi yang terdepan dalam menggambarkan komplikasi seperti sub/epidural empiema dan komplikasi vaskulitis terutama dalam pemeriksaan FLAIR (fluid-attenuated inversion recovery)-weighted images. Teknik terbaru dari diffusion weighted imaging  (DWI) dapat menunjukan komplikasi parenkim awal dari meningitis dengan lebih jelas dan membantu membedakannya dengan abses piogenik (PA) denganlesi ring-enhancing dari etiologi yang lainnya. Proton magnetic resonance spectroscopy (PMRS) tampak menghasilkan pola puncak spesifik dalam kasus abses. Adanya lactate cytosilic amino acids dan ketiadaan choline merupakan tanda adanya abses piogenik. Dalam kasus dugaan infeksi oportunistik oleh karena toxoplasma, DWI dapat membantu untuk membedakannya dengan limfoma, dimana menunjukan tidak adanya pembatasan dalam difusi air. Pada pasien dengan herpes simplek dan berbagai virus eksotik lainnya seperti West Nile dan virus Murray Valley, DWI memberikan deteksi lesi dini dan terapi intervensi dengan obat virustatik.
Kata Kunci : Neuroimaging, infeksi, terapi, MRI, diffusion-weighted imaging.






Pendahuluan
Infeksi pada sistem saraf pusat dan jaringan disekitarnya sering merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Prognosis sangat bergantung pada identifikasi yang cepat pada tempat dan jenis patogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi untuk pemberian terapi antimikrobial yang efektif sedini mungkin. Sedangkan analisis dari cairan serebrospinal, biopsi dan analisis laboratorium tetap menjadi standar emas untuk mengidentifikasi agen infeksi misalnya dalam meningitis, neuroimaging sangat penting dalam menggambarkan dengan jelas lesi inflamasi otak dan tulang belakang. Gambaran pola lesi yang khas sering memungkinkan diagnosis yang cepat dan untuk keputusan terapi selanjutnya. Khususnya, neuroimaging memegang peranan penting pada penyakit-penyakit oportunistik, tidak hanya dalam diagnosis , tetapi juga untuk pemantauan respon terapi. Tinjauan berikut membahaspenemuan terkini dalam bidang neuroimaging infeksi sistem saraf pusat seperti meningoensefalitis, ventrikulitis, dan infeksi medulla spinalis, baik oleh virus maupun penyakit oportunistik pada sistem saraf pusat.

Meningitis
Dalam kasus dugaan meningitis bakteri dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan cranial computed tomography (CT-Scan) direkomendasikan sebelum melakukan lumbal pungsi untuk menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Bagaimanapun, pengobatan antibiotik empiris harus diberikan sebelum CT-Scan dan / atau lumbal pungsi dilakukan. Pada meningitis fase akut, temuan pada CT-Scan sebagian besar normal. Contrast-enhanced CT-Scan dapat menunjukan permulaan dari meningeal enhancement, yang kemudian menjadi lebih ditonjolkan pada tahap akhir dari penyakit. Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran CT-Scan , kecuali pada area iskemia yang disebabkan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi yang terjadi pada lebih 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan sangat penting untuk mengetahui kelainan dari basis cranii yang mungkin menjadi penyebab dan menentukan penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan. Sumber infeksi yang potensial diantaranya adalah fraktur sinus paranasalis atau os petrosa serta infeksi telinga bagian dalam dan mastoiditis. CT venography merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk mendiagnosis komplikasi trombosis dari sinus transversus dan sagittal, yang mengharuskan pemberian terapi antikoagulasi dengan heparin intravena. Pada stadium lanjut, rasa mengantuk yang persisten dan adanya tanda rangsang meningeal harus dianggap sebagai indikasi dilakukannya CT-Scanulang untuk menyingkirkan kemungkinan hidrosefalus resorptive. Jika drainase ventrikuler eksternal diperlukan, pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk memeriksa ukuran ventrikel akan menentukan waktu operasi berikutnya. Pada beberapa kasus, efusi subdural sering ditemukan, yang biasanya sembuh secara spontan tanpa terapi intervensi yang spesifik. Gambaran parenkim yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis akan memperburuk prognosisnya.1

Text Box: Gambar. 1. CT-Scan seorang pasien dengan meningitis tuberkulosis menunjukkan perubahan inflamasi perivaskular dan infark temporal akibat dari vaskulitis

Magnetic resonance imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin dalam kasus uncomplicated meningeal bakterialis. Pemeriksaan MRI membantu untuk memberikan gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang perbaikan setelah pemberian gadolinium (Gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada jaringan otak dan medulla spinalis, namun juga pada cairan serebrospinal, seperti yang dilaporkan dalam kasus spirochaetal meningitis.2Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan magnetization transfer MRI telah diusulkan sebagai pemeriksaan yang berguna dalam diagnosis meningitis tuberkulosis. Visibilitas dari gambar meninges pada precontrast T1-weighted magnetization transfer dapat dianggap sangat sugestif meningitis TB.3 Hal ini penting untuk memulai pengobatan tuberculostatic sedini mungkin karena mortalitas dan morbiditasnya masih tinggi. Penelitian terbaru mengatakanpemberian adjuvan dexametason untuk pengobatan meningitis tuberkulosis pada remaja dan orang dewasa mampu menurunkan morbiditas tetapi tidak ada pencegahan terhadap kecacatan.4
Pada kasus komplikasi dengan disertai kejang dan gejala-gejala fokal, MRI lebih unggul dibandingan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim pada kasus meningoenchepalitis atau komplikasi vaskulitis pada FLAIR sequences. Pada penyakit Lyme, multifocal nonenhancing patchy lesions dapat dilihat pada T2 WI. Bersama dengan dugaan riwayat penyakit dan kelainan patologis cairan serebrospinal, terapi intravena dengan ceftriaxone harus segera diberikan selama 21 hari. Informasi tambahan dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan difussion-weighted imaging (DWI). Lesi inflamasi akut, termasuk ensefalitis, cerebritis, dan tuberkulosisakan terlihat gambaran hiperintens. Neurocysticercosis akan terlihat hipointense pada DWI. Diagnosis neurocysticercosis dapat ditegakkan dengan neuroimaging. Open brain atau stereotaxic biopsy biasanya tidak diperlukan.  Lesi biasanya sembuh dengan pengobatan praziquantel atau albendazole. Gambaran toxoplasmosis bervariasi pada pemeriksaan DWI. Terapi harus dilakukan sedini mungkin , dan respon terapi dimonitor dengan pemeriksaan ulang setelah 4 minggu.
Beberapa patogen berpredileksi pada batang otakdan akan nampak pada pemeriksaan MRI. Khususnya, pada pasien rhombencephalitis akibat listeria monositogen, perlu pemberian antibiotik yang sesuai termasuk ampisilin.5 Neurobrucellosis menunjukangambaran yang bervariasi, mulai dari yang normal hingga inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau komplikasi vaskular.6 Pengobatan penyakit ini berupa terapi empiris.
Komplikasi vaskular harus dicurigai pada pasien dengan perburukankondisi yang cepat walaupun telah mendapat terapi. Pada kasus ini, sensitivitas DWI lebih tinggi dibandingkan MRI konvensional dalam menggambarkan defisit minimal pada korteks atau infark pada substansia alba yang dalam akibat vaskulitis sepsis. Magnetic Resonance Angiography (MRA) mampu menyingkirkan atau menegakkan diagnosis vaskulitis yang akan membantu klinisis memutuskan penggunaan terapi steroid dosis tinggi. Penelitian terbaru juga menganjurkan penggunaan steroid tambahan padadiagnosis meningitis bakteri sebelum terapi antibiotik karena hasilnya lebih baik tanpa meningkatkan resiko pendarahan gastrointestinal.7
Ventrikulitis piogenik adalah infeksi intrakranial yang jarang terjadi namun sangat berat yang membutuhkan diagnosis dan terapi yang cepat karena tingkat mortalitas yang tinggi. Neuroimaging merupakan satu-satunya alat yang dipercaya untuk mendiagnosis penyakit yang mengancam jiwa ini. MRI FLAIR lebih sensitif dengan menggambarkan periventrikuler, kelainan ependimal dan dalam beberapa kasuspial atau kelainan dura-arachnoid. Debris yang ireguler pada intraventrikuler merupakan gambaran yang spesifik. MRI sangat diperlukan dalam diagnosis ruptur intraventrikular akibat abses piogenik.8Terapi antibiotik intravena dosis tinggi harus diberikan selama beberapa minggu. Pada kasus yang terjadi perburukan walaupun telah diberikan terapi antibiotik intravena, pemberian intraventricular melalui reservoir Ommaya harus dipertimbangkan.

Empiema Subdural dan Epidural
Diagnosis empiema bakteri ekstra axial paling baik menggunakan MRI. CT sering meninggalkan keraguan mengenai sifat dari lesi dan lokasi lesi yang sebenarnya. Gambaran cairan ini dapat terlihat lebih cembung atau terlihat interhemisfer. Gambaran ini akan terlihat relatif lebih hiperintens daripada cairan serebrospinal dan hipointense pada substansia alba pada pemeriksaan T1WI dan relatif lebih hiperintense terhadap cairan serebrospinal dan substansia alba pada pemeriksaan T2WI yang dapat membedakan dengan efusi steril dan hematomakronis. Berbeda dengan empiema subdural, empiema epidural  menunjukkan pinggiran yang hipointense antara dura matter dan parenkim otak. Inflamasi sering menyebabkan kelainanberupa edema, mass effect, dan hiperintense korteks yang reversibel. DWI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa kumpulan cairan extra-axial tersebut adalah  empiema dan membedakan mereka lebih lanjut. Subdural empiema biasanya menunjukkan gambaran yang lebih intens, sedangkan epidural empyema cenderung kurang intens atau gambaran bervariasi.9 Tindakan bedah saraf adalah terapi pilihan pada kasus ini.
Abses Piogenik
Diagnosis abses otak piogenik masih menjadi sebuah tantangan dunia medis. Para klinisi menghadapi kerancuan dalam menentukan diagnosa dan memberikan terapi terutama dalam kasus-kasus di mana ditemukannya lesi ring-enhancing tunggal dengan edema perifocal pada CT-SCAN meningkatkan kemungkinan diagnosis abses dibandingkan tumor nekrotik (glioblastoma) atau metastasis (Gambar 2). Gd-enhanced MRI adalah alat untuk membantu mengidentifikasi beberapa lesi tambahan kecil yang menunjukkan metastasis penyakit. Dalam kasus lesi tunggal pada MRI, biopsi adalah langkah diagnostik berikutnya. Pada abses aspirasi biopsi harus dilakukan tepat di tengah abses sedangkan pada tumor nekrotik aspirasi  biopsi dilakukan dari dinding rongga. Informasi lebih lanjut  diperlukan untuk mengoptimalkan perencanaan tindakan bedah yang diperlukan. DWI telah diusulkan sebagai metode pilihan. Dalam beberapa penelitian , hampir semua abses piogenik memiliki marker sinyal yang hiperintense pada DWI dan mengurangi perhitungan apparent diffusion coefficient (ADC) yang menunjukkan batas difusi air, berlawanan dengan non piogenik lesi yang menunjukkan sinyal hipointense atau sinyal campuran. Hanya chordoma dan epidermoid dapat menunjukkan peningkatan marker sinyal DWI.10,11 Penulis lain telah menekankan jika hanya nilai ADC yang dihitung tidak diperoleh perbedaan yang bermakna karena hasil diagnosa yang tumpang tindih.12,13 Meskipun metode ini membantu, itu tidak memecahkan kerancuan diagnosa atau meniadakan kebutuhan untuk biopsi. Dalam kasus yang tidak jelas, informasi tambahan dapat diperoleh dari Proton Magnetic Spektroskopi Resonansi (PMRS). Metode ini tidak tersedia secara rutin , tetapi beberapa penulis telah menemukan hasil yang dapat dipercaya . Terdapatnya sitosol laktat asam amino dengan / tanpa suksinat , asetat , alanin , dan glisin dapat dianggap sebagai penanda untuk abses , laktat dan kolin untuk kasus non abses.14 Selanjutnya konfirmasi dari hasil penerlitian yang lain tetap diperlukan. Meskipun beberapa penulis telah melaporkan tentang kemungkinan membedakan aerobik dari abses otak steril , hal ini harus tetap diwaspadai dengan kemungkinan lainnya.15 Kontribusi dari teknik ini dan PET untuk membedakan infeksi dari tumor selanjutnya dibahas dalam artikel lain dari masalah ini , berurusan dengan PMRS dan dengan gambaran dari tumor otak.
Gambar. 2 Axial post-gadolinium T11WI showing ring-enhancing lesion with mass effect in a patient with pyogenic brain abscess

Toxoplasmosis
Merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan imunosupresi.16 Infeksi Prenatal mungkin menimbulkan kejang awitan lambat dan lebih disarankan melakukan pemeriksaan neuro -imaging. Khususnya, di negara-negara dunia ketiga beberapa lesi kalsifikasi yang kecil dapat dideteksi . Infeksi akut pada pasien dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) atau setelah tindakan transplantasi sumsum tulang menyebabkan lesi yang biasanya banyak ditambah dengan peningkatan cincin atau massa padat. MRI menggambarkan lesi tersebut dengan jelas, kadang-kadang memperlihatkan zona pendarahan.17 Dalam kasus dengan kenampakan lesi yang khas terapi dengan pyrimethamin 50-100 mg /hari dan sulfadiazin 4 g / hari harus dimulai segera .Dalam kasus alergi sulfa , alternative lain memakai klindamisin 600 mg q.id. Tak jarang, neuroimaging mengungkapkan lesi toxoplasma dengan efek massa dan ditandai edema perifocal. Dalam kasus ini, pada 7 hari pertama diberikan deksametason 4 mg empat kali sehari sebagai tambahan. Osmodieuretik diperlukan dalam perkembangan edema yang lebih lanjut. Pada sekitar 80 % pasien, perbaikan radiologi dapat dilihat dalam waktu sekitar 1 minggu dan dapat mendukung diagnosis. Jika lesi  berubah atau progresif, diagnosis harus dipertimbangkan kembali dan terapi strategi dievaluasi. Sayangnya, dalam kasus-kasus imunosupresi berat, penampilan MR dapat benar benar atipikal dapat menyesatkan ahli radiologi dan dokter. Khususnya dalam varian ensefalitis fulminat, lesi tersebar luas di T2WI dan sama sekali tanpa peninggian.18 Dalam kasus ini, antitoxoplasma terapi dimulai sampai diagnosis telah diklarifikasi. Dalam kasus atipikal lesi toxoplasma soliter besar menunjukkan peningkatan yang ditandai menyerupai limfoma, klinisi harus mencari tambahan modalitas diagnostik lain ,sementara itu terapi pasien untuk toksoplasmosis tetap diberikan. DWI sebagian besar tidak menunjukkan pembatasan difusi air dalam inti jaringan, studi perfusi mendemonstrasikan lesi yang terlihat hipovascular19 ditandai dengan puncak lipid yang dominan. Sebuah metode yang tersedia secara luas adalah Thalium-201 brain SPECT-SCAN, membantu khususnya dalam diferensiasi limfoma, menunjukkan serapan yang ditandai berbeda dengan abses toxoplasma. Abses tuberkulosis juga dapat menunjukan adanya serapan.20

Infeksi Spinal
Pengaruh pada struktur tulang,diskus, ligaments, dan soft tissue
Secara tradisional diagnosis radiologi pada infeksi tulang belakang terhambat oleh kurangnya spesifisitas dan sensitivitas x-ray. Hanya erosi tulang  ​​dan destruksi tulang yang bisa terlihat . Dengan demikian, hanya klinis diagnosis banding dari kompresif myelopati karena vertebra fraktur atau destruksi yang dapat diklarifikasi.
Meskipun CT-SCAN tulang belakang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terutama setelah  penggunaan kontras dan dapat menunjukkan spondylitis, hal itu tidak cukup untuk mendeteksi dini discitis atau abses epidural. Dalam kasus bakteri dan TB spondylitis , CT-SCAN menunjukkan erosi dan kerusakan dari badan vertebra dengan peningkatan kontras ditandai dengan inflamasi perubahan daerah paravertebral. Diagnosis abses epidural spinal tidak dapat dikecualikan oleh CT-SCAN . CT-SCAN mielografi dapat setidaknya menunjukkan lokasi kompresi tali pusat , meskipun masih menyisakan keraguan etiologi yang tepat. Singkatnya, ia hanya dapat direkomendasikan dalam kondisi darurat.
MRI adalah metode pilihan dalam diagnosis dicurigai spondylodiscitis. T1 -weighted image menunjukkan kehilangan sinyal dari vertebra, penghancuran margin kortikal dan gangguan kontinuitas kortikal . T2-weighted image menunjukkan sinyal yang tinggi pada tulang yang terkena. Peningkatan kontras dapat dilihat sebagai tanda awal fase akut di mana perubahan pada T1/T2WI bisa terlihat tajam.21 Patogen yang paling umum adalah Staphylococcus aureus, tetapi bakteri lain termasuk kasus langka Brucellar Spondylitis pernah terlaporkan.22 Beberapa fitur telah diidentifikasikan membantu dalam diferensiasi tuberkulosis dari spondilitis piogenik. Tuberculous Spondylitis lebih sering menunjukkan paraspinal sinyal abnormal, dinding abses halus tipis, subligamentous menyebar ke tiga atau lebih badan vertebra dan keterlibatan beberapa atau sebagian besar badan vertebra toraks.23 Hal ini penting untuk diingat bahwa kasus yang jarang terjadi dari Osteomielitis Vertebral oleh jamur, sebagian besar karena aspergillus dan jarang kriptokokus dapat menunjukkan temuan MRI yang sama sebagai spondilitis bakteri.24,25 Mucormycosis Spinal telah dilaporkan terjadi pada beberapa pasien dirawat karena leukemia.
Pengobatan sebagian besar dilakukan dengan antibiotik setelah tindakan aspirasi yang dipandu oleh CT-SCAN  untuk kultur dan drainase perkutan. Jika perbaikan radiologis terlihat dalam 2 minggu, terapi konservatif dikatakan cukup. Hanya ketidakstabilan dan abses intraspinal yang memerlukan intervensi bedah saraf. MRI sangat penting untuk menindaklanjuti pemantauan program di bawah pengobatan . Bahkan setelah respon klinis menunjukkan peradangan sistemik, peningkatan gadolinium dapat bertahan selama berbulan-bulan. Tambahan pengobatan antibiotic tidak diindikasikan dalam hal ini.
Abses spinal epidural membutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi klinisi. Khususnya pada pasien setelah suntikan paravertebral, scanning awal harus dipertimbangkan bila ada nyeri lokal dan meningkatkan kembali, peningkatan sedimentasi dan leukositosis. MRI menggambarkan abses epidural sebagai gambaran massa hyperintense dan disertai dengan peningkatan intensitas pada T1WE-Gd. Gambar pada MRI di aksial dan sagital berguna dalam perencanaan pra operasi. Terapi dengan bedah dekompresi dan drainase diperlukan dalam kasus-kasus dengan kompresi struktur saraf.26 Kasus tanpa kompresi spinal karena abses tetapi dengan tanda-tanda neurologis parah dapat meragukan  diagDescription: http://www.google.com/images/cleardot.gifnostik. Dalam kasus-kasus iskemia saraf tulang belakang karena trombosis dari pembuluh leptomeningeal atau kompresi arteri tulang belakang harus dicurigai sebagai mekanisme yang mendasari.27 Sehingga, neuroimaging digunakan untuk menjelaskan etiologi dan mencegah tindakan bedah yang tidak perlu sebagai intervensi terapeutik.

Keterlibatan Sumsum Tulang Belakang dan Meningen
Radiografi polos dan CT-SCAN tidak membantu, hanya MRI yang dapat menunjukkan inflamasi patologi sumsum tulang belakang . Dalam penyakit yang disebabkan oleh bakteri, perubahan inflamasi di sumsum tulang belakang yang sebagian besar disebabkan oleh perubahan sekunder pada abses intraspinal. MRI menunjukkan perubahan sinyal tinggi yang sesuai dengan peradangan dan edema pada T2WI . Dewasa ini , spirochetal infeksi sebagian besar disebabkan oleh penyakit Lyme disebabkan oleh Burgdorferi Borrelia. Pada tahap awal neuroborreliosis, leptomeningitis tulang belakang dan temuan peradangan pada Gd - enhanced mungkin fitur radiologis pertama sebelum terlihatnya perubahan sinyal myelitis, yang mengindikasikan pemaikan antibiotic pada pasien.28 TBC jarang bermanifestasi dengan tuberculoma intramedulla yang bisa terlihat pada Gd - enhanced T1WI. Penelitian Gadolinium -enhanced sangat membantu dalam menunjukkan arachnoiditis tulang belakang, dimana mematahkan komplikasi dari meningitis tuberkulosa.29 Terapi steroid tambahan direkomendasikan untuk komplikasi ini.
Mielitis dapat menjadi komplikasi yang sering pada infeksi virus. Dalam banyak kasus, virus tetap dapat teridentifikasi. Pada kasus Herpesviridae seperti Varicella zoster virus, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus (EBV) sering digambarkan pada pasien-pasien dengan immunocompromised.30 Karena seringnya kasus-kasus tersebut dengan ascending paraparesis, diferensiasi dari inflammatory polyradiculitis sangat penting segera ditentukannya terapi dengan obat antivirus atau steroid dosis tinggi versus imunoglobulin intravena (IVIG). MRI menunjukkan tingginya perubahan sinyal pada medula spinalis dengan variabel edema dan peningkatan Gd juga di  lumbosacral roots pada infeksi  EBV.31 Coxsackie dan virus ECHO dapat menyebabkan myelitis transversal.32 Laporan terbaru adanya komplikasi ke tulang belakang yang disebabkan infeksi  WNV.33 Perubahan MRI termasuk kelainan parenkimmedla spinalis dan cauda equine enhancement. Pada tahap awal infeksi HIV, mielitis yang terjadi dapat menyerupai autoimmune-mediated myelitis. Dalam tahap selanjutnya, gambaran khas MRI memungkinkan dipercepatnya diagnosis melalui saluran yang pucat dan vacuolar myelopathy menunjukkan lesi intramedullary, kadang ditandai dengan tampilan kistik, terkadang peningkatan Gd dapat ditemui.34 Pengobatan dengan steroid biasanya tidak bermanfaat dalam kasus ini. Sebaliknya, dalam kasus tropical spastic paraparesis pada  HTLV-2 myelopathy gambaran MRI tampak normal dan jarang sekali menunjukkan atrofi.35
Viral Meningoencephalitis
Virus herpes simplex (HSV) I merupakan penyebab tersering viral encephalitis.36,37 Namun, banyak virus lain penyebab encephalitis yang patut menjadi perhatian. Seperti virus West Nile, virus Nipah yang baru saja ditemukan, serta virus-virus yang sering tidak diperhatikan seperti human herpes virus (HHV) 6 dan 7 serta enterovirus 71. Bahkan pada manusia dewasa yang immunokompeten, HHV 6 dapat menyebabkan ensefalitis kronis (Gambar 3).Pada pasien imunocompromise, spectrum infeksi HHV 6 dapat lebih luas lagi.
Deteksi DNA virus HSV pada liquor serebrospinal menggunakan PCR tetap merupakan cara utama untuk mendiagnosis ensefalitis karena HSV,38 namun hasil laboratorium dapat menunjukkan false negative, dan waktu yang lama untuk menunggu hasilnya merupakan kelemahan dari pemeriksaan ini. Sehingga pemeriksaan imaging sangat diperlukan untuk pasien suspek ensefalitis HSV untuk menentukan apakah terapi antiviral dapat dimulai atau tidak.MRI kranial lebih baik dibandingkan CT scan untuk deteksi awal tanda-tanda nekrosis pada ensefalitis, yang dapat terdeteksi dalam 48 jam pertama dengan menggunakan T2-weighted (T2W1) atau FLAIR.39 Pada bayi dan neonatus, DWI terlihat lebih sensitif dibandingkan T2W1 dan FLAIR untuk deteksi dini edema korteks sitotoksik.40 Namun akhir-akhir ini dapat dibuktikan pula bahwa hal yang sama terjadi juga pada pasien dewasa.41Menariknya, pada studi yang sama juga disebutkan bahwa MRI berulang yang dilakukan pada pasien menunjukkan abnormalitas menghilang pada hari ke 14 setelah onset, dimana pada T2W1 tetap nampak hiperintensitas. Studi lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui apakah resolusi abnormalitas pada DWI ini terkait dengan terapi antiviral yang diperlukan serta apakah jika abnormalitas korteks menetap merupakan pertanda prognosis yang kurang baik pada pasien ensefalitis HSV.
Virus Nipah merupakan anggota genus paramyxovirus, dan masih berkerabat dekat dengan virus Hendra (virus yang menyerang kuda), yang akhir-akhir ini diketahui menyebabkan ensefalitis akut yang parah.42 Penampakan radiologis ensefalitis karena virus Nipah pada T2W1 biasanya berupa lesi hiperintens berukuran kecil multipel di dalam substansia alba.43 T2W1 juga dapat memperlihatkan adanya lesi puctate hiperintens pada batang otak dan korteks. Menariknya, T2W1 pada pasien yang memiliki hasil laboratorium seropositif namun belum ada gejala (asimptomatis) menunjukkan adanya lesi hiperintens mirip seperti pada pasien yang sudah memiliki gejala klinis. Ini menunjukkan bahwa terdapat varian virus Nipah yang hanya menghasilkan gejala subklinis yang ringan.44
Enterovirus 71 (EV71), adalah virus anggota keluarga Picoviridae, yang menyebabkan ensefalitis pada batang otak  dengan gejala seperti polio, dan lumpuh layuh (acute flaccid paralysis). Hasil MRI pada ensefalitis karena EV71 umumnya menunjukkan adanya lesi hiperintens pada batang otak dan dentate nuclei pada cerebellum.45 Pada beberapa pasien, lesi tersebut dapat menyebar ke medulla spinalis, thalamus dan putamen. Pada beberapa pasien, DWI mampu memperlihatkan  adanya perubahan hiperintens pada bagian posterior medulla tanpa adanya abnormalitas otak lain pada T1W1 dan T2W1 saat hari pertama terjadinya kelainan neurologis. Ini menunjukkan bahwa DWI lebih unggul untuk deteksi dini infeksi EV71 dibandingkan T2W1 atau T2W1 dengan kontras. 46
Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit yang menjangkiti sekitar 50.000 orang pertahunnya, kurang lebih 10.000 orang meninggal karenanya setiap tahun.Seperti ada infeksi CNS lainnya, MRI tampaknya lebih sensitive dibandingkan CT scan dalam mendeteksi kelainan otak karena JE.39 Pada hasil MRI umumnya tampak tampilan mixed intensity atau hipointens pada T1W1 dan hiperintens atau mixed intensity pada T2W1 terutama pada basal ganglia, batang otak, cerebellum, dan area korteks.47Menurut sebuah penelitian terbaru, CT scan cranial mampu menemukan abnormalitas sekitar 38% kasus, namun MRI dapat mendeteksi perubahan patologis sekitar 90.6-95.5%.48 Abnormalitas pada thalamus didapatkan sekitar 87.5% pada kasus anak dan dewasa menggunakan T2W1, 40.6-54.2% ditemukan pada basal ganglia, 28.1-45.8% ditemukan pada otak tengah, dan 21.9-25% ditemukan pada area korteks.
Virus West Nile (WNV) pernah menyebabkan wabah pada Eropa Selatan, Rusia dan Amerika Serikat pada tahun 2002. Manifestasi klinis, laboratorium dan neuroimaging dideskripsikan pada studi terbaru pada pasien yang seropositif WNV.49 Lima pasien mengalami meningitis, delapan pasien mengalami ensefalitis, dan tiga pasien mengalami lumpuh layuh dengan gejala seperti polio. T2W1 memperlihatkan adanya lesi hiperintensitas fokal pada basal ganglia, thalamus, dan pons hanya pada dua dari delapan pasien ensefalitis.Sementara hasil CT scan kedelapan pasien normal. Pada pasien dengan lumpuh layuh, MRI menunjukkan adanya hiperintensitas pada cauda equine dan nerve root clumping. Pada beberapa pasien, virus juga menyerang pada substansia nigra dan tampak hiperintensitas di regio ini pada T2W1.50 Sama seperti pada ensefalitis karena infeksi HSV dan EV71, DWI tampaknya lebih sensitive untuk mendeteksi abnormalitas terutama pada fase awal ensefalitis karena infeksi WNV.
Murray Valley encephalitis merupakan penyakit endemis pada Australia dan Papua New Guinea.Pada hasil MRI nampak kelainan yang mirip seperti pada Japanese encephalitis. Dan pada penelitian terbaru dikatakan bahwa dengan T2W1 didapatkan perubahan hiperintens pada thalamus, nukleus merah, substansia nigra dan medulla oblongata pada leher.51Namun, penampakan hasil MRI yang mirip pada infeksi Japanese encephalitis, West Nile encephalitis dan Murray Valley encephalitis menyebabkan infeksi-infeksi ini tidak dapat dibedakan jika hanya berdasarkan pada hasil imaging saja.
Infeksi sistem saraf pusat karena virus campak (measles virus /MV) dapat mengakibatkan 1) ensefalitis akut posinfeksi, 2) ensefalitis progresif akut, dan 3) SSPE .Data mengenai hasil pencitraan pada ensefalitis akut karena virus campak jarang ada. T2WI dapat memperlihatkan adanya edema kortikaldan lesi hyperintense yang simetri bilateral dalam putamen dan nukleus caudatum serta dalam centrum semiovale.52 Kadang-kadang pada pasien juga terdapat  lesi bilateral pada thalamus dan kelainan pada corpus callosum. Kegunaan DWI untuk deteksi dini ensefalitis akut karena virus campak belum dievaluasi. Peningkatan kontras  mungkin muncul di daerah kortikal dan leptomeninges pada beberapa pasien. SSPE adalah penyakit yang langka dan progresif, biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan awal remaja tetapi mungkin juga muncul pada pasien dewasa dan usia lebih tua.53, 54 Perbedaan penampilan SSPE stadium awal dan akhir pada MRI tidak didefinisikan dengan baik. Sebuah studi baru-baru ini membandingkan spektroskopi MR dan MRI konvensional pada anak-anak dengan stadium awal SSPE dan anak-anak dengan stadium akhir SSPE.55 MRI konvensional mengungkapkan tidak ada kelainan pada SSPE tahap awal , tetapi T2WI memperlihatkan adanya perubahan hyperintense yang luas pada periventricular pada stadium akhir SSPE. Sebaliknya, MR spektroskopi menunjukkan peningkatan rasio kolin/kreatinin dalam materi putih area frontal dan parieto–oksipital pada semua pasien, menunjukkan peradangan juga ditemukan dalam tahap awal SSPE. Rasio N-acetylasparate/creatine yang normal pada stadium awal mungkin mencerminkan tidak ada kerusakan neuron , yang bisa terdeteksi dalam tahap akhir dari SSPE .
Gambar 3. Axial FLAIR pada pasien dengan ensefalitis kronis karena infeksi HHV 6, menunjukkan adanya hiperintensitas berbentuk patchy pada korteks dan substantia alba.

Infeksi Jamur
Infeksi jamur pada SSP sangat langka pada populasi umum . Kecuali bagi orang-orang dengan diabetes yang lama, pasien yang mengalami immunocompromised seperti AIDS atau setelah transplantasi organ. Kurangnya respon inflamasi menyebabkan temuan neuroradiologis sering kali tidak spesifik.Meskipun hampir semua jamur dapat menyebabkan ensefalitis, meningoencephalitis kriptokokus merupakan ensefalitis karena jamur yang paling sering ditemui, diikuti oleh aspergillosis dan candidasis.Candidasis serebral biasanya diawali oleh infeksi kandida sistemik.Pada pasien imunokompeten, terdapat lesi padat atau seperti abses sehingga menimbulkan kemiripan dengan abses piogenik.Pada pasien dengan imunosupresi, temuan neuroradiologis seringkali sulit untuk ditafsirkan. MRI menunjukkan adanya hiperintensitas berbentuk punctuate atau patchy pada T2WI, pada penggunaan kontras gadolinium sering kali tidak ditemukan temuan yang berarti.56 Temuan ini sendiri tidak memungkinkan diagnosis yang spesifik, sehingga keputusan terapi harus didasarkan pada parameter klinis dan temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal.
Pada meningoencephalitis kriptokokus, penebalan meningeal yang merata dan ventriculitis dapat dilihat pada MRI. Temuan yang khas adalah beberapa lesi punctuate, yang sering temukan di basal ganglia. Ini merupakan lesi kistik akibat invasi kriptokokus pada ruang Virchow -Robin. Lesi ini sering kali disebut " lesi gelembung sabun " dan dapat menjadi acuan untuk memulai terapi antifungal sesegera mungkin. Pada pasien dengan imunitas normal atau pasien dengan AIDS yang sedang mendapatkan terapi antiretroviral, mampu membentuk kompleks imun yang dapat menjadikan lesi berbentuk seperti cincin. Namun walaupun dengan terapi intensif (amphotericin B dan 5-flucytosine), prognosis penyakit ini seringkali buruk dan tingkat mortalitas mencapai 70%.57
Aspergillus merupakan agen infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat. Infeksi aspergillus jarang pada pasien dengan AIDS dan namun lebih sering terjadi pada pasien post transplantasi sumsum tulang.58 Angka kematian pada pasien-pasien tersebut tinggi, dan diagnosis dini harus segera dilakukan untuk menjamin kehidupan pasien.59 Temuan laboratorium tidak selalu mampu mengkonfirmasi adanya infeksi aspergillus sehingga neuroimaging sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Namun hasil  CT scan seringkali tidak spesifik dan diagnosis infeksi jamur sering kali ditegakkan secara retrospektif pada otopsi. Penampilan infeksi aspergillus pada sister saraf pusat sangat bervariasi. Dengan menggunakan MRI, beberapa pola aspergillosis otak diketahui yaitu :  lesi edema, lesi hemoragik, lesi padat yang disebut sebagai aspergilloma, abses  yang tampak seperti cincin (Gambar 4 ), dan lesi yang tampak seperti infark.  Penebalan dural biasanya terlihat pada lesi yang berdekatan dengan sinus paranasal yang terinfeksi. Pada MRI, lesi dapat berupa area isointense atau  intensitas rendah pada T2WI, yang dikaitkan dengan jamur yang mengandung unsur paramagnetik seperti mangan, besi , dan magnesium , tetapi dapat juga terkait dengan produk hasil pemecahan sel darah.60 Infark kortikal dan subkortikal dengan  atau tanpa perdarahan merupakan temuan umum pada infeksi aspergillus disebabkan oleh infiltrasi jamur ke dinding pembuluh darah dan trombosis.61 Penampakan radiologis tersebut sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dini pada pasien dengan aspergillosis serebrum. Pasien dengan AIDS dan pasien post transplantasi sumsum tulang yang mengalami immunoincompetent, sering kali tidak menunjukkan adanya hiperintensitas atau perifocal edema.62
Gambar 4. Citra Coronal T1W1 setelah penambahan gadolinium pada pasien post transplantasi sumsum tulang yang mengalami ensefalitis karena aspergillus. Terlihat lesi berbentuk cincin dengan edema dan kompresi pada ventrikel lateral.




No comments:

Post a Comment