Thursday, October 16, 2014
Wednesday, October 15, 2014
Journal Reading : Neuroimaging of Infections
GAMBARAN
NEUROIMAGING PADA INFEKSI
Ringkasan : neuroimaging memegang peranan penting
dalam hal diagnosis dan penentuan terapi dalam penyakit infeksi pada system
saraf. Tinjauan ini meringkas temuan pada gambaran dan kemajuan terbaru dalam
diagnosis dari pyogenic brain abscess, ventrikulitis, penyakit virus termasuk
didalamnya virus eksotik, emergent virus dan penyakit oportunistik. Dalam
setiap kondisi, langkah-langkah terapi yang meyakinkan dapat disajikan. Dalam
kasus uncomplicated meningitis, cranial computed tomography (CT-Scan) tampaknya
cukup untuk penanganan klinis untuk menyingkirkan kemungkinan acute brain
edema, hydrocephalus, dan kelainan dari basis kranii. Magnetic Resonance
imaging (MRI) menjadi yang terdepan dalam menggambarkan komplikasi seperti
sub/epidural empiema dan komplikasi vaskulitis terutama dalam pemeriksaan FLAIR
(fluid-attenuated inversion recovery)-weighted images. Teknik terbaru dari
diffusion weighted imaging (DWI) dapat menunjukan
komplikasi parenkim awal dari meningitis dengan lebih jelas dan membantu
membedakannya dengan abses piogenik (PA) denganlesi ring-enhancing dari
etiologi yang lainnya. Proton magnetic resonance spectroscopy (PMRS) tampak
menghasilkan pola puncak spesifik dalam kasus abses. Adanya lactate cytosilic
amino acids dan ketiadaan choline merupakan tanda adanya abses piogenik. Dalam
kasus dugaan infeksi oportunistik oleh karena toxoplasma, DWI dapat membantu
untuk membedakannya dengan limfoma, dimana menunjukan tidak adanya pembatasan
dalam difusi air. Pada pasien dengan herpes simplek dan berbagai virus eksotik
lainnya seperti West Nile dan virus Murray Valley, DWI memberikan deteksi lesi
dini dan terapi intervensi dengan obat virustatik.
Kata Kunci : Neuroimaging, infeksi, terapi, MRI,
diffusion-weighted imaging.
Pendahuluan
Infeksi
pada sistem saraf pusat dan jaringan disekitarnya sering merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Prognosis sangat bergantung pada identifikasi yang cepat pada
tempat dan jenis patogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi untuk pemberian
terapi antimikrobial yang efektif sedini mungkin. Sedangkan analisis dari
cairan serebrospinal, biopsi dan analisis laboratorium tetap menjadi standar
emas untuk mengidentifikasi agen infeksi misalnya dalam meningitis,
neuroimaging sangat penting dalam menggambarkan dengan jelas lesi inflamasi
otak dan tulang belakang. Gambaran pola lesi yang khas sering memungkinkan
diagnosis yang cepat dan untuk keputusan terapi selanjutnya. Khususnya,
neuroimaging memegang peranan penting pada penyakit-penyakit oportunistik, tidak
hanya dalam diagnosis , tetapi juga untuk pemantauan respon terapi. Tinjauan
berikut membahaspenemuan terkini dalam bidang neuroimaging infeksi sistem saraf
pusat seperti meningoensefalitis, ventrikulitis, dan infeksi medulla spinalis,
baik oleh virus maupun penyakit oportunistik pada sistem saraf pusat.
Meningitis
Dalam
kasus dugaan meningitis bakteri dengan penurunan kesadaran, pemeriksaan cranial
computed tomography (CT-Scan) direkomendasikan sebelum melakukan lumbal pungsi
untuk menghindari herniasi otak akibat edema serebri. Bagaimanapun, pengobatan
antibiotik empiris harus diberikan sebelum CT-Scan dan / atau lumbal pungsi
dilakukan. Pada meningitis fase akut, temuan pada CT-Scan sebagian besar
normal. Contrast-enhanced CT-Scan dapat menunjukan permulaan dari meningeal
enhancement, yang kemudian menjadi lebih ditonjolkan pada tahap akhir dari penyakit.
Lesi pada parenkim tidak mudah terlihat pada gambaran CT-Scan , kecuali pada
area iskemia yang disebabkan oleh vaskulitis sekunder yang merupakan komplikasi
yang terjadi pada lebih 20% kasus (Gambar 1). CT-Scan sangat penting untuk
mengetahui kelainan dari basis cranii yang mungkin menjadi penyebab dan
menentukan penanganan yang cepat dan konsultasi bedah jika diperlukan. Sumber
infeksi yang potensial diantaranya adalah fraktur sinus paranasalis atau os
petrosa serta infeksi telinga bagian dalam dan mastoiditis. CT venography
merupakan pemeriksaan yang sangat baik untuk mendiagnosis komplikasi trombosis
dari sinus transversus dan sagittal, yang mengharuskan pemberian terapi
antikoagulasi dengan heparin intravena. Pada stadium lanjut, rasa mengantuk
yang persisten dan adanya tanda rangsang meningeal harus dianggap sebagai
indikasi dilakukannya CT-Scanulang untuk menyingkirkan kemungkinan hidrosefalus
resorptive. Jika drainase ventrikuler eksternal diperlukan, pemeriksaan CT-Scan
diperlukan untuk memeriksa ukuran ventrikel akan menentukan waktu operasi
berikutnya. Pada beberapa kasus, efusi subdural sering ditemukan, yang biasanya
sembuh secara spontan tanpa terapi intervensi yang spesifik. Gambaran parenkim
yang abnormal sebanding lurus dengan gejala neurologis akan memperburuk
prognosisnya.1

Magnetic
resonance imaging (MRI) bukan merupakan pemeriksaan rutin dalam kasus
uncomplicated meningeal bakterialis. Pemeriksaan MRI membantu untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas pada parenkim otak. Terkadang perbaikan setelah
pemberian gadolinium (Gd)-DTPA pada pemeriksaan MRI bukan hanya pada jaringan
otak dan medulla spinalis, namun juga pada cairan serebrospinal, seperti yang
dilaporkan dalam kasus spirochaetal meningitis.2Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa pemeriksaan magnetization transfer MRI telah diusulkan
sebagai pemeriksaan yang berguna dalam diagnosis meningitis tuberkulosis.
Visibilitas dari gambar meninges pada precontrast T1-weighted magnetization
transfer dapat dianggap sangat sugestif meningitis TB.3 Hal ini penting
untuk memulai pengobatan tuberculostatic sedini mungkin karena mortalitas dan
morbiditasnya masih tinggi. Penelitian terbaru mengatakanpemberian adjuvan
dexametason untuk pengobatan meningitis tuberkulosis pada remaja dan orang
dewasa mampu menurunkan morbiditas tetapi tidak ada pencegahan terhadap
kecacatan.4
Pada
kasus komplikasi dengan disertai kejang dan gejala-gejala fokal, MRI lebih
unggul dibandingan CT-Scan dalam menggambarkan lesi parenkim pada kasus
meningoenchepalitis atau komplikasi vaskulitis pada FLAIR sequences. Pada
penyakit Lyme, multifocal nonenhancing patchy lesions dapat dilihat pada T2 WI.
Bersama dengan dugaan riwayat penyakit dan kelainan patologis cairan
serebrospinal, terapi intravena dengan ceftriaxone harus segera diberikan
selama 21 hari. Informasi tambahan dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan
difussion-weighted imaging (DWI). Lesi inflamasi akut, termasuk ensefalitis,
cerebritis, dan tuberkulosisakan terlihat gambaran hiperintens.
Neurocysticercosis akan terlihat hipointense pada DWI. Diagnosis
neurocysticercosis dapat ditegakkan dengan neuroimaging. Open brain atau stereotaxic biopsy biasanya tidak diperlukan. Lesi biasanya sembuh dengan pengobatan
praziquantel atau albendazole. Gambaran toxoplasmosis bervariasi pada
pemeriksaan DWI. Terapi harus dilakukan sedini mungkin , dan respon terapi
dimonitor dengan pemeriksaan ulang setelah 4 minggu.
Beberapa
patogen berpredileksi pada batang otakdan akan nampak pada pemeriksaan MRI.
Khususnya, pada pasien rhombencephalitis akibat listeria monositogen, perlu
pemberian antibiotik yang sesuai termasuk ampisilin.5
Neurobrucellosis menunjukangambaran yang bervariasi, mulai dari yang normal hingga
inflamasi non spesifik SSP dan nervus, atau komplikasi vaskular.6 Pengobatan
penyakit ini berupa terapi empiris.
Komplikasi
vaskular harus dicurigai pada pasien dengan perburukankondisi yang cepat
walaupun telah mendapat terapi. Pada kasus ini, sensitivitas DWI lebih tinggi
dibandingkan MRI konvensional dalam menggambarkan defisit minimal pada korteks
atau infark pada substansia alba yang dalam akibat vaskulitis sepsis. Magnetic
Resonance Angiography (MRA) mampu menyingkirkan atau menegakkan diagnosis
vaskulitis yang akan membantu klinisis memutuskan penggunaan terapi steroid
dosis tinggi. Penelitian terbaru juga menganjurkan penggunaan steroid tambahan
padadiagnosis meningitis bakteri sebelum terapi antibiotik karena hasilnya
lebih baik tanpa meningkatkan resiko pendarahan gastrointestinal.7
Ventrikulitis
piogenik adalah infeksi intrakranial yang jarang terjadi namun sangat berat
yang membutuhkan diagnosis dan terapi yang cepat karena tingkat mortalitas yang
tinggi. Neuroimaging merupakan satu-satunya alat yang dipercaya untuk mendiagnosis
penyakit yang mengancam jiwa ini. MRI FLAIR lebih sensitif dengan menggambarkan
periventrikuler, kelainan ependimal dan dalam beberapa kasuspial atau kelainan
dura-arachnoid. Debris yang ireguler pada intraventrikuler merupakan gambaran
yang spesifik. MRI sangat diperlukan dalam diagnosis ruptur intraventrikular
akibat abses piogenik.8Terapi antibiotik intravena dosis tinggi
harus diberikan selama beberapa minggu. Pada kasus yang terjadi perburukan walaupun
telah diberikan terapi antibiotik intravena, pemberian intraventricular melalui
reservoir Ommaya harus dipertimbangkan.
Empiema
Subdural dan Epidural
Diagnosis
empiema bakteri ekstra axial paling baik menggunakan MRI. CT sering
meninggalkan keraguan mengenai sifat dari lesi dan lokasi lesi yang sebenarnya.
Gambaran cairan ini dapat terlihat lebih cembung atau terlihat interhemisfer. Gambaran
ini akan terlihat relatif lebih hiperintens daripada cairan serebrospinal dan
hipointense pada substansia alba pada pemeriksaan T1WI dan relatif lebih hiperintense
terhadap cairan serebrospinal dan substansia alba pada pemeriksaan T2WI yang
dapat membedakan dengan efusi steril dan hematomakronis. Berbeda dengan empiema
subdural, empiema epidural menunjukkan
pinggiran yang hipointense antara dura matter dan parenkim otak. Inflamasi
sering menyebabkan kelainanberupa edema, mass effect, dan hiperintense korteks
yang reversibel. DWI dapat digunakan untuk mengkonfirmasi bahwa kumpulan cairan
extra-axial tersebut adalah empiema dan
membedakan mereka lebih lanjut. Subdural empiema biasanya menunjukkan gambaran
yang lebih intens, sedangkan epidural empyema cenderung kurang intens atau
gambaran bervariasi.9 Tindakan bedah saraf adalah terapi pilihan
pada kasus ini.
Abses
Piogenik
Diagnosis
abses otak piogenik masih menjadi sebuah tantangan dunia medis. Para klinisi menghadapi
kerancuan dalam menentukan diagnosa dan memberikan terapi terutama dalam
kasus-kasus di mana ditemukannya lesi ring-enhancing tunggal dengan edema
perifocal pada CT-SCAN meningkatkan kemungkinan diagnosis abses dibandingkan
tumor nekrotik (glioblastoma) atau metastasis (Gambar 2). Gd-enhanced MRI adalah alat untuk membantu mengidentifikasi
beberapa lesi tambahan kecil yang menunjukkan metastasis penyakit. Dalam kasus
lesi tunggal pada MRI, biopsi adalah langkah diagnostik berikutnya. Pada abses
aspirasi biopsi harus dilakukan tepat di tengah abses sedangkan pada tumor
nekrotik aspirasi biopsi dilakukan dari
dinding rongga. Informasi lebih lanjut
diperlukan untuk mengoptimalkan perencanaan tindakan bedah yang
diperlukan. DWI telah diusulkan sebagai metode pilihan. Dalam beberapa
penelitian , hampir semua abses piogenik memiliki marker sinyal yang
hiperintense pada DWI dan mengurangi perhitungan apparent diffusion coefficient (ADC)
yang menunjukkan batas difusi air, berlawanan dengan non piogenik lesi yang
menunjukkan sinyal hipointense atau sinyal campuran. Hanya chordoma dan
epidermoid dapat menunjukkan peningkatan marker sinyal DWI.10,11
Penulis lain telah menekankan jika hanya nilai ADC yang dihitung tidak
diperoleh perbedaan yang bermakna karena hasil diagnosa yang tumpang tindih.12,13
Meskipun metode ini membantu, itu tidak memecahkan kerancuan diagnosa
atau meniadakan kebutuhan untuk biopsi. Dalam kasus yang tidak jelas, informasi
tambahan dapat diperoleh dari Proton
Magnetic Spektroskopi Resonansi (PMRS). Metode ini tidak tersedia secara
rutin , tetapi beberapa penulis telah menemukan hasil yang dapat dipercaya .
Terdapatnya sitosol laktat asam amino dengan / tanpa suksinat , asetat , alanin
, dan glisin dapat dianggap sebagai penanda untuk abses , laktat dan kolin
untuk kasus non abses.14 Selanjutnya konfirmasi dari hasil
penerlitian yang lain tetap diperlukan. Meskipun beberapa penulis telah
melaporkan tentang kemungkinan membedakan aerobik dari abses otak steril , hal
ini harus tetap diwaspadai dengan kemungkinan lainnya.15 Kontribusi
dari teknik ini dan PET untuk membedakan infeksi dari tumor selanjutnya dibahas
dalam artikel lain dari masalah ini , berurusan dengan PMRS dan dengan gambaran
dari tumor otak.

Gambar. 2 Axial
post-gadolinium T11WI showing ring-enhancing lesion with mass effect in a
patient with pyogenic brain abscess
Toxoplasmosis
Merupakan
infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan
imunosupresi.16 Infeksi Prenatal mungkin menimbulkan kejang awitan
lambat dan lebih disarankan melakukan pemeriksaan neuro -imaging. Khususnya, di
negara-negara dunia ketiga beberapa lesi kalsifikasi yang kecil dapat dideteksi
. Infeksi akut pada pasien dengan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) atau setelah tindakan transplantasi
sumsum tulang menyebabkan lesi yang biasanya banyak ditambah dengan peningkatan
cincin atau massa padat. MRI menggambarkan lesi tersebut dengan jelas,
kadang-kadang memperlihatkan zona pendarahan.17 Dalam kasus dengan
kenampakan lesi yang khas terapi dengan pyrimethamin 50-100 mg /hari dan
sulfadiazin 4 g / hari harus dimulai segera .Dalam kasus alergi sulfa ,
alternative lain memakai klindamisin 600 mg q.id. Tak jarang, neuroimaging mengungkapkan
lesi toxoplasma dengan efek massa dan ditandai edema perifocal. Dalam kasus
ini, pada 7 hari pertama diberikan deksametason 4 mg empat kali sehari sebagai
tambahan. Osmodieuretik diperlukan dalam perkembangan edema yang lebih lanjut. Pada
sekitar 80 % pasien, perbaikan radiologi dapat dilihat dalam waktu sekitar 1
minggu dan dapat mendukung diagnosis. Jika lesi
berubah atau progresif, diagnosis harus dipertimbangkan kembali dan
terapi strategi dievaluasi. Sayangnya, dalam kasus-kasus imunosupresi berat,
penampilan MR dapat benar benar atipikal dapat menyesatkan ahli radiologi dan
dokter. Khususnya dalam varian ensefalitis fulminat, lesi tersebar luas di T2WI
dan sama sekali tanpa peninggian.18 Dalam kasus ini, antitoxoplasma
terapi dimulai sampai diagnosis telah diklarifikasi. Dalam kasus atipikal lesi
toxoplasma soliter besar menunjukkan peningkatan yang ditandai menyerupai
limfoma, klinisi harus mencari tambahan modalitas diagnostik lain ,sementara itu
terapi pasien untuk toksoplasmosis tetap diberikan. DWI sebagian besar tidak
menunjukkan pembatasan difusi air dalam inti jaringan, studi perfusi
mendemonstrasikan lesi yang terlihat hipovascular19 ditandai dengan
puncak lipid yang dominan. Sebuah metode yang tersedia secara luas adalah Thalium-201 brain SPECT-SCAN, membantu
khususnya dalam diferensiasi limfoma, menunjukkan serapan yang ditandai berbeda
dengan abses toxoplasma. Abses tuberkulosis juga dapat menunjukan adanya
serapan.20
Infeksi
Spinal
Pengaruh pada struktur
tulang,diskus, ligaments, dan soft tissue
Secara
tradisional diagnosis radiologi pada infeksi tulang belakang terhambat oleh
kurangnya spesifisitas dan sensitivitas x-ray. Hanya erosi tulang dan destruksi tulang yang bisa terlihat .
Dengan demikian, hanya klinis diagnosis banding dari kompresif myelopati karena
vertebra fraktur atau destruksi yang dapat diklarifikasi.
Meskipun
CT-SCAN tulang belakang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terutama
setelah penggunaan kontras dan dapat
menunjukkan spondylitis, hal itu tidak cukup untuk mendeteksi dini discitis
atau abses epidural. Dalam kasus bakteri dan TB spondylitis , CT-SCAN
menunjukkan erosi dan kerusakan dari badan vertebra dengan peningkatan kontras
ditandai dengan inflamasi perubahan daerah paravertebral. Diagnosis abses
epidural spinal tidak dapat dikecualikan oleh CT-SCAN . CT-SCAN mielografi
dapat setidaknya menunjukkan lokasi kompresi tali pusat , meskipun masih
menyisakan keraguan etiologi yang tepat. Singkatnya, ia hanya dapat
direkomendasikan dalam kondisi darurat.
MRI
adalah metode pilihan dalam diagnosis dicurigai spondylodiscitis. T1 -weighted image menunjukkan kehilangan
sinyal dari vertebra, penghancuran margin kortikal dan gangguan kontinuitas
kortikal . T2-weighted image menunjukkan
sinyal yang tinggi pada tulang yang terkena. Peningkatan kontras dapat dilihat
sebagai tanda awal fase akut di mana perubahan pada T1/T2WI bisa terlihat
tajam.21 Patogen yang paling umum adalah Staphylococcus aureus,
tetapi bakteri lain termasuk kasus langka Brucellar Spondylitis pernah
terlaporkan.22 Beberapa fitur telah diidentifikasikan membantu dalam
diferensiasi tuberkulosis dari spondilitis piogenik. Tuberculous Spondylitis
lebih sering menunjukkan paraspinal sinyal abnormal, dinding abses halus tipis,
subligamentous menyebar ke tiga atau lebih badan vertebra dan keterlibatan
beberapa atau sebagian besar badan vertebra toraks.23 Hal ini
penting untuk diingat bahwa kasus yang jarang terjadi dari Osteomielitis Vertebral
oleh jamur, sebagian besar karena aspergillus dan jarang kriptokokus dapat
menunjukkan temuan MRI yang sama sebagai spondilitis bakteri.24,25
Mucormycosis Spinal telah dilaporkan terjadi pada beberapa pasien dirawat
karena leukemia.
Pengobatan
sebagian besar dilakukan dengan antibiotik setelah tindakan aspirasi yang
dipandu oleh CT-SCAN untuk kultur dan
drainase perkutan. Jika perbaikan radiologis terlihat dalam 2 minggu, terapi
konservatif dikatakan cukup. Hanya ketidakstabilan dan abses intraspinal yang
memerlukan intervensi bedah saraf. MRI sangat penting untuk menindaklanjuti
pemantauan program di bawah pengobatan . Bahkan setelah respon klinis
menunjukkan peradangan sistemik, peningkatan gadolinium dapat bertahan selama
berbulan-bulan. Tambahan pengobatan antibiotic tidak diindikasikan dalam hal
ini.
Abses
spinal epidural membutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi klinisi. Khususnya pada
pasien setelah suntikan paravertebral, scanning awal harus dipertimbangkan bila
ada nyeri lokal dan meningkatkan kembali, peningkatan sedimentasi dan
leukositosis. MRI menggambarkan abses
epidural sebagai gambaran massa hyperintense
dan disertai dengan peningkatan intensitas pada T1WE-Gd. Gambar pada MRI di aksial dan sagital
berguna dalam perencanaan pra operasi. Terapi dengan bedah dekompresi dan drainase diperlukan dalam kasus-kasus
dengan kompresi struktur saraf.26 Kasus tanpa kompresi spinal karena abses tetapi dengan tanda-tanda neurologis parah dapat meragukan diag
nostik. Dalam kasus-kasus iskemia saraf tulang belakang karena trombosis dari
pembuluh leptomeningeal atau kompresi arteri tulang belakang harus dicurigai sebagai mekanisme
yang mendasari.27 Sehingga, neuroimaging digunakan untuk menjelaskan
etiologi dan mencegah tindakan bedah yang tidak perlu sebagai intervensi
terapeutik.
Keterlibatan Sumsum Tulang Belakang
dan Meningen
Radiografi
polos dan CT-SCAN tidak membantu, hanya MRI yang dapat menunjukkan inflamasi
patologi sumsum tulang belakang . Dalam penyakit yang disebabkan oleh bakteri,
perubahan inflamasi di sumsum tulang belakang yang sebagian besar disebabkan
oleh perubahan sekunder pada abses intraspinal. MRI menunjukkan perubahan
sinyal tinggi yang sesuai dengan peradangan dan edema pada T2WI . Dewasa ini ,
spirochetal infeksi sebagian besar disebabkan oleh penyakit Lyme disebabkan
oleh Burgdorferi Borrelia. Pada tahap awal neuroborreliosis, leptomeningitis
tulang belakang dan temuan peradangan pada Gd
- enhanced mungkin fitur radiologis pertama sebelum terlihatnya perubahan
sinyal myelitis, yang mengindikasikan pemaikan antibiotic pada pasien.28
TBC jarang bermanifestasi dengan tuberculoma intramedulla yang bisa terlihat
pada Gd - enhanced T1WI. Penelitian Gadolinium -enhanced sangat membantu
dalam menunjukkan arachnoiditis tulang belakang, dimana mematahkan komplikasi
dari meningitis tuberkulosa.29 Terapi steroid tambahan
direkomendasikan untuk komplikasi ini.
Mielitis dapat menjadi komplikasi yang sering pada
infeksi virus. Dalam banyak kasus, virus
tetap dapat teridentifikasi. Pada kasus Herpesviridae
seperti Varicella zoster virus, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus (EBV) sering digambarkan
pada pasien-pasien dengan immunocompromised.30 Karena
seringnya kasus-kasus tersebut dengan ascending
paraparesis, diferensiasi dari inflammatory polyradiculitis sangat penting segera
ditentukannya terapi dengan obat antivirus atau steroid dosis tinggi versus imunoglobulin intravena (IVIG). MRI menunjukkan tingginya perubahan sinyal pada medula
spinalis dengan variabel edema
dan peningkatan Gd juga di lumbosacral roots pada infeksi EBV.31 Coxsackie dan virus ECHO dapat
menyebabkan myelitis transversal.32 Laporan terbaru adanya komplikasi ke tulang belakang yang
disebabkan infeksi WNV.33 Perubahan MRI termasuk kelainan parenkimmedla spinalis dan cauda equine enhancement. Pada tahap awal infeksi
HIV, mielitis yang terjadi dapat menyerupai
autoimmune-mediated myelitis. Dalam tahap selanjutnya, gambaran khas MRI memungkinkan dipercepatnya diagnosis melalui saluran yang pucat dan vacuolar myelopathy menunjukkan lesi intramedullary,
kadang ditandai dengan tampilan kistik,
terkadang peningkatan Gd dapat ditemui.34
Pengobatan dengan steroid biasanya tidak bermanfaat dalam kasus ini. Sebaliknya,
dalam kasus tropical spastic paraparesis pada HTLV-2 myelopathy gambaran MRI tampak normal dan jarang sekali menunjukkan atrofi.35
Viral
Meningoencephalitis
Virus
herpes simplex (HSV) I merupakan penyebab tersering viral encephalitis.36,37
Namun, banyak virus lain penyebab encephalitis yang patut menjadi perhatian.
Seperti virus West Nile, virus Nipah yang baru saja ditemukan, serta
virus-virus yang sering tidak diperhatikan seperti human herpes virus (HHV) 6
dan 7 serta enterovirus 71. Bahkan pada manusia dewasa yang immunokompeten, HHV
6 dapat menyebabkan ensefalitis kronis (Gambar 3).Pada pasien imunocompromise, spectrum infeksi HHV 6
dapat lebih luas lagi.
Deteksi DNA virus
HSV pada liquor serebrospinal menggunakan PCR tetap merupakan cara utama untuk
mendiagnosis ensefalitis karena HSV,38 namun hasil laboratorium dapat
menunjukkan false negative, dan waktu
yang lama untuk menunggu hasilnya merupakan kelemahan dari pemeriksaan ini.
Sehingga pemeriksaan imaging sangat diperlukan untuk pasien suspek ensefalitis
HSV untuk menentukan apakah terapi antiviral dapat dimulai atau tidak.MRI
kranial lebih baik dibandingkan CT scan untuk deteksi awal tanda-tanda nekrosis
pada ensefalitis, yang dapat terdeteksi dalam 48 jam pertama dengan menggunakan
T2-weighted (T2W1) atau FLAIR.39
Pada bayi dan neonatus, DWI terlihat lebih sensitif dibandingkan T2W1 dan FLAIR
untuk deteksi dini edema korteks sitotoksik.40 Namun akhir-akhir ini
dapat dibuktikan pula bahwa hal yang sama terjadi juga pada pasien dewasa.41Menariknya,
pada studi yang sama juga disebutkan bahwa MRI berulang yang dilakukan pada
pasien menunjukkan abnormalitas menghilang pada hari ke 14 setelah onset,
dimana pada T2W1 tetap nampak hiperintensitas. Studi lebih lanjut dibutuhkan
untuk mengetahui apakah resolusi abnormalitas pada DWI ini terkait dengan
terapi antiviral yang diperlukan serta apakah jika abnormalitas korteks menetap
merupakan pertanda prognosis yang kurang baik pada pasien ensefalitis HSV.
Virus
Nipah merupakan anggota genus paramyxovirus,
dan masih berkerabat dekat dengan virus Hendra (virus yang menyerang kuda),
yang akhir-akhir ini diketahui menyebabkan ensefalitis akut yang parah.42
Penampakan radiologis ensefalitis karena virus Nipah pada T2W1 biasanya berupa
lesi hiperintens berukuran kecil multipel di dalam substansia alba.43
T2W1 juga dapat memperlihatkan adanya lesi puctate
hiperintens pada batang otak dan korteks. Menariknya, T2W1 pada pasien yang
memiliki hasil laboratorium seropositif namun belum ada gejala (asimptomatis)
menunjukkan adanya lesi hiperintens mirip seperti pada pasien yang sudah
memiliki gejala klinis. Ini menunjukkan bahwa terdapat varian virus Nipah yang
hanya menghasilkan gejala subklinis yang ringan.44
Enterovirus 71
(EV71), adalah virus anggota keluarga Picoviridae, yang menyebabkan ensefalitis
pada batang otak dengan gejala seperti
polio, dan lumpuh layuh (acute flaccid
paralysis). Hasil MRI pada ensefalitis karena EV71 umumnya menunjukkan
adanya lesi hiperintens pada batang otak dan dentate nuclei pada cerebellum.45
Pada beberapa pasien, lesi tersebut dapat menyebar ke medulla spinalis,
thalamus dan putamen. Pada beberapa pasien, DWI mampu memperlihatkan adanya perubahan hiperintens pada bagian
posterior medulla tanpa adanya abnormalitas otak lain pada T1W1 dan T2W1 saat
hari pertama terjadinya kelainan neurologis. Ini menunjukkan bahwa DWI lebih
unggul untuk deteksi dini infeksi EV71 dibandingkan T2W1 atau T2W1 dengan
kontras. 46
Japanese
encephalitis (JE) merupakan penyakit yang menjangkiti sekitar 50.000 orang
pertahunnya, kurang lebih 10.000 orang meninggal karenanya setiap tahun.Seperti
ada infeksi CNS lainnya, MRI tampaknya lebih sensitive dibandingkan CT scan
dalam mendeteksi kelainan otak karena JE.39 Pada hasil MRI umumnya
tampak tampilan mixed intensity atau
hipointens pada T1W1 dan hiperintens atau mixed
intensity pada T2W1 terutama pada basal ganglia, batang otak, cerebellum,
dan area korteks.47Menurut sebuah penelitian terbaru, CT scan
cranial mampu menemukan abnormalitas sekitar 38% kasus, namun MRI dapat
mendeteksi perubahan patologis sekitar 90.6-95.5%.48 Abnormalitas
pada thalamus didapatkan sekitar 87.5% pada kasus anak dan dewasa menggunakan
T2W1, 40.6-54.2% ditemukan pada basal ganglia, 28.1-45.8% ditemukan pada otak
tengah, dan 21.9-25% ditemukan pada area korteks.
Virus
West Nile (WNV) pernah menyebabkan
wabah pada Eropa Selatan, Rusia dan Amerika Serikat pada tahun 2002.
Manifestasi klinis, laboratorium dan neuroimaging dideskripsikan pada studi
terbaru pada pasien yang seropositif WNV.49 Lima pasien mengalami
meningitis, delapan pasien mengalami ensefalitis, dan tiga pasien mengalami
lumpuh layuh dengan gejala seperti polio. T2W1 memperlihatkan adanya lesi
hiperintensitas fokal pada basal ganglia, thalamus, dan pons hanya pada dua dari
delapan pasien ensefalitis.Sementara hasil CT scan kedelapan pasien normal.
Pada pasien dengan lumpuh layuh, MRI menunjukkan adanya hiperintensitas pada
cauda equine dan nerve root clumping.
Pada beberapa pasien, virus juga menyerang pada substansia nigra dan tampak
hiperintensitas di regio ini pada T2W1.50 Sama seperti pada
ensefalitis karena infeksi HSV dan EV71, DWI tampaknya lebih sensitive untuk
mendeteksi abnormalitas terutama pada fase awal ensefalitis karena infeksi WNV.
Murray Valley encephalitis merupakan penyakit endemis
pada Australia dan Papua New Guinea.Pada hasil MRI nampak kelainan yang mirip
seperti pada Japanese encephalitis. Dan pada penelitian terbaru dikatakan bahwa
dengan T2W1 didapatkan perubahan hiperintens pada thalamus, nukleus merah,
substansia nigra dan medulla oblongata pada leher.51Namun,
penampakan hasil MRI yang mirip pada infeksi Japanese encephalitis, West Nile
encephalitis dan Murray Valley encephalitis menyebabkan infeksi-infeksi ini
tidak dapat dibedakan jika hanya berdasarkan pada hasil imaging saja.
Infeksi
sistem saraf pusat karena virus campak (measles
virus /MV) dapat mengakibatkan 1) ensefalitis akut posinfeksi, 2)
ensefalitis progresif akut, dan 3) SSPE .Data mengenai hasil pencitraan pada
ensefalitis akut karena virus campak jarang ada. T2WI dapat memperlihatkan
adanya edema kortikaldan lesi hyperintense yang simetri bilateral dalam putamen
dan nukleus caudatum serta dalam centrum semiovale.52 Kadang-kadang
pada pasien juga terdapat lesi bilateral
pada thalamus dan kelainan pada corpus callosum. Kegunaan DWI untuk deteksi
dini ensefalitis akut karena virus campak belum dievaluasi. Peningkatan
kontras mungkin muncul di daerah
kortikal dan leptomeninges pada beberapa pasien. SSPE adalah penyakit yang
langka dan progresif, biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan awal remaja
tetapi mungkin juga muncul pada pasien dewasa dan usia lebih tua.53, 54
Perbedaan penampilan SSPE stadium awal dan akhir pada MRI tidak didefinisikan
dengan baik. Sebuah studi baru-baru ini membandingkan spektroskopi MR dan MRI
konvensional pada anak-anak dengan stadium awal SSPE dan anak-anak dengan
stadium akhir SSPE.55 MRI konvensional mengungkapkan tidak ada
kelainan pada SSPE tahap awal , tetapi T2WI memperlihatkan adanya perubahan
hyperintense yang luas pada periventricular pada stadium akhir SSPE.
Sebaliknya, MR spektroskopi menunjukkan peningkatan rasio kolin/kreatinin dalam
materi putih area frontal dan parieto–oksipital pada semua pasien, menunjukkan
peradangan juga ditemukan dalam tahap awal SSPE. Rasio N-acetylasparate/creatine yang normal pada stadium awal mungkin
mencerminkan tidak ada kerusakan neuron , yang bisa terdeteksi dalam tahap
akhir dari SSPE .

Gambar 3. Axial FLAIR pada pasien dengan
ensefalitis kronis karena infeksi HHV 6, menunjukkan adanya hiperintensitas
berbentuk patchy pada korteks dan
substantia alba.
Infeksi
Jamur
Infeksi
jamur pada SSP sangat langka pada populasi umum . Kecuali bagi orang-orang
dengan diabetes yang lama, pasien yang mengalami immunocompromised seperti AIDS
atau setelah transplantasi organ. Kurangnya respon inflamasi menyebabkan temuan
neuroradiologis sering kali tidak spesifik.Meskipun hampir semua jamur dapat
menyebabkan ensefalitis, meningoencephalitis kriptokokus merupakan ensefalitis
karena jamur yang paling sering ditemui, diikuti oleh aspergillosis dan candidasis.Candidasis
serebral biasanya diawali oleh infeksi kandida sistemik.Pada pasien
imunokompeten, terdapat lesi padat atau seperti abses sehingga menimbulkan
kemiripan dengan abses piogenik.Pada pasien dengan imunosupresi, temuan
neuroradiologis seringkali sulit untuk ditafsirkan. MRI menunjukkan adanya hiperintensitas
berbentuk punctuate atau patchy pada T2WI, pada penggunaan
kontras gadolinium sering kali tidak ditemukan temuan yang berarti.56
Temuan ini sendiri tidak memungkinkan diagnosis yang spesifik, sehingga
keputusan terapi harus didasarkan pada parameter klinis dan temuan pada
pemeriksaan cairan serebrospinal.
Pada
meningoencephalitis kriptokokus, penebalan meningeal yang merata dan
ventriculitis dapat dilihat pada MRI. Temuan yang khas adalah beberapa lesi
punctuate, yang sering temukan di basal ganglia. Ini merupakan lesi kistik
akibat invasi kriptokokus pada ruang Virchow -Robin. Lesi ini sering kali
disebut " lesi gelembung sabun " dan dapat menjadi acuan untuk
memulai terapi antifungal sesegera mungkin. Pada pasien dengan imunitas normal
atau pasien dengan AIDS yang sedang mendapatkan terapi antiretroviral, mampu
membentuk kompleks imun yang dapat menjadikan lesi berbentuk seperti cincin.
Namun walaupun dengan terapi intensif (amphotericin
B dan 5-flucytosine), prognosis
penyakit ini seringkali buruk dan tingkat mortalitas mencapai 70%.57
Aspergillus
merupakan agen infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat. Infeksi
aspergillus jarang pada pasien dengan AIDS dan namun lebih sering terjadi pada
pasien post transplantasi sumsum tulang.58 Angka kematian pada
pasien-pasien tersebut tinggi, dan diagnosis dini harus segera dilakukan untuk
menjamin kehidupan pasien.59 Temuan laboratorium tidak selalu mampu
mengkonfirmasi adanya infeksi aspergillus sehingga neuroimaging sangat penting
untuk menegakkan diagnosis. Namun hasil
CT scan seringkali tidak spesifik dan diagnosis infeksi jamur sering
kali ditegakkan secara retrospektif pada otopsi. Penampilan infeksi aspergillus
pada sister saraf pusat sangat bervariasi. Dengan menggunakan MRI, beberapa
pola aspergillosis otak diketahui yaitu :
lesi edema, lesi hemoragik, lesi padat yang disebut sebagai
aspergilloma, abses yang tampak seperti
cincin (Gambar 4 ), dan lesi yang tampak seperti infark. Penebalan dural biasanya terlihat pada lesi
yang berdekatan dengan sinus paranasal yang terinfeksi. Pada MRI, lesi dapat
berupa area isointense atau intensitas
rendah pada T2WI, yang dikaitkan dengan jamur yang mengandung unsur paramagnetik
seperti mangan, besi , dan magnesium , tetapi dapat juga terkait dengan produk
hasil pemecahan sel darah.60 Infark kortikal dan subkortikal
dengan atau tanpa perdarahan merupakan
temuan umum pada infeksi aspergillus disebabkan oleh infiltrasi jamur ke
dinding pembuluh darah dan trombosis.61 Penampakan radiologis
tersebut sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dini pada pasien dengan
aspergillosis serebrum. Pasien dengan AIDS dan pasien post transplantasi sumsum
tulang yang mengalami immunoincompetent,
sering kali tidak menunjukkan adanya hiperintensitas atau perifocal edema.62

Gambar 4. Citra Coronal T1W1 setelah
penambahan gadolinium pada pasien post transplantasi sumsum tulang yang mengalami
ensefalitis karena aspergillus. Terlihat lesi berbentuk cincin dengan edema dan
kompresi pada ventrikel lateral.
Labels:
infections,
journal,
neuroimaging,
of,
reading
Journal Reading : Nutrition And Chronic Kidney Disease
NUTRITION
AND CHRONIC KIDNEY DISEASE
Insiden gangguan gizi buruk pada penyakit ginjal kronis (CKD) tidak
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sedangkan perawatan pasien dan teknik
dialisis terus
berkembang. Meskipun beberapa
bukti telah menunjukkan adanya pengobatan dengan cost
effective, namun hal ini masih menuai protes untuk melakukan penerapan terhadap
penelitian ini pada penatalaksanaan sehari-hari. Ada beberapa
data mengkonfirmasikan bahwa terjadi peningkatan metabolisme ketika pasien
melakukan kontrol asupan protein,
bahkan pada tahap awal CKD. Baru-baru ini protein-energy
wasting nomenclature melakukan suatu pendekatan sederhana terhadap diagnosis
dan penyebab kekurangan gizi. Selama pemeliharaan dialisis, pemberian
protein optimal dan energi intake menjadi pusat perhatian dan tidak ada
lagi indikasi untuk mengontrol hiperfosfatemia melalui pembatasan diet.
Pengukuran terbaru dari pengeluaran energi (energy
expenditure) pada pasien yang menjalani dialisis menunjukkan aktivitas fisik yang sangat rendah
mempengaruhi kebutuhan energi. Akhirnya,
inflamasi yang terjadi selama CKD,
dipengaruhi oleh asupan gizi dan katabolisme,
akan tetapi pemberian intervensi terhadap nutrisi bukan merupakan sebuah
kontraindikasi.
Setelah hemodialisis diperkenalkan pertama kali
di awal tahun enam puluhan, timbul beberapa pertanyaan: bagaimana untuk mengontrol tekanan darah dengan
baik? bagaimana mengelola anemia kronis? dan nutrisi apa yang dapat dianjurkan untuk
pasien ini. Lima puluh tahun kemudian pada tahun 2010, dua permasalahan pertama telah dapat
dipecahkan. Sebaliknya, masih
banyak yang harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya pemborosan energi
dan protein. Studi epidemiologi melaporkan bahwa dari 30 kasus, 50% dari
pasien tersebut mengalami tanda-tanda malnutrisi.
Apa tanda-tanda dari energy-protein
wasting? Apakah
gejala ini sudah ada sebelum dialisis? Dan apakah
ada acara yang memungkinkan untuk memperbaiki kelainan ini dan
bagaimana? Dalam ulasan ini,
kita akan mencoba untuk menjawab beberapa poin pentingnya.
Chronic Kidney Disease: Asupan Protein Mana yang diberikan sebelum
Maintenance Dialysis?
Sekarang ada bukti bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) harus
mengontrol asupan protein mereka untuk mencapai pertahanan tubuh yang optimal. Sebagian besar di seluruh dunia merekomendasikan tunjangan harian protein adalah 0,6-0,8 g/kgBB/hari pada
pasien CKD dengan atau tanpa diabetes. Uji klinis dikonfirmasi pada penelitian meta-analisis pada jumlah besar (misalnya, lebih dari 2000 pasien) menunjukkan bahwa tunjangan harian tersebut efektif dan aman untuk mengurangi asupan protein dari western-type diet, yang terdiri dari sekitar 1,3-1,4 g protein/kgBB/hari. Hal ini sangat penting pada pasien dengan proteinuria, termasuk nefropati diabetik, karena setiap kenaikan asupan protein akan meningkatkan resiko terjadinya proteinuria, dengan peningkatan per sekian kali menjadi faktor risiko untuk perkembangan CKD. Sebaliknya dengan mengurangi asupan protein dapat menurunkan proteinuria yang sama efisiennya dengan angiotensin converting enzyme inhibitor dan meningkatkan serum profil lipid. Dengan demikian, berdasarkan dengan proteinuria, ada hal yang kuat untuk mengontrol asupan protein.
pasien CKD dengan atau tanpa diabetes. Uji klinis dikonfirmasi pada penelitian meta-analisis pada jumlah besar (misalnya, lebih dari 2000 pasien) menunjukkan bahwa tunjangan harian tersebut efektif dan aman untuk mengurangi asupan protein dari western-type diet, yang terdiri dari sekitar 1,3-1,4 g protein/kgBB/hari. Hal ini sangat penting pada pasien dengan proteinuria, termasuk nefropati diabetik, karena setiap kenaikan asupan protein akan meningkatkan resiko terjadinya proteinuria, dengan peningkatan per sekian kali menjadi faktor risiko untuk perkembangan CKD. Sebaliknya dengan mengurangi asupan protein dapat menurunkan proteinuria yang sama efisiennya dengan angiotensin converting enzyme inhibitor dan meningkatkan serum profil lipid. Dengan demikian, berdasarkan dengan proteinuria, ada hal yang kuat untuk mengontrol asupan protein.
Membatasi asupan protein berhubungan
dengan penurunan wasted product dan racun uremik, tingkat BUN dan
beban asam. Konsekuensi
metabolik pada pembatasan diet protein telah banyak ditinjau seperti penurunan stres oksidatif, ameliorasi resistensi
insulin, kontrol yang lebih baik dari
gangguan tulang metabolik pada respon untuk menurunkan beban fosfat dalam tubuh, dan selanjutnya peningkatan
kontrol anemia.
Nutrisi yang aman pada kontrol asupan
protein
CKD berhubungan
dengan protein-energy
wasting, nutritional safety seperti seperti pengurangan protein telah dipertanyakan. Muscle wasting berkaitan
dengan CKD dan
peningkatan dependensi, mortalitas, dan morbiditas pada pasien. Dari sudut pandang dasar, kita harus mencari hubungan langsung antara pengurangan asupan protein dan
atrofi otot. Sayangnya, pendekatan ini tidak secara klinis relevan: muscle wasting pada penyakit kronis terutama disebabkan ketidakseimbangan antara sintesis protein dan degradasi, dan akan lebih diperburuk dengan inaktifitas. Selain itu, asidosis dan aktivasi ubiquitin-proteasome pathway berkaitan dengan inflamasi dan resistensi insulin yang merupakan faktor utama dari muscle wasting. Mengurangi asupan protein merupakan hal yang dapat meningkatkan kondisi katabolik. Memang, kontrol yang lebih baik dari asidosis metabolik akibat penurunan beban asam mengarah ke normalisasi adaptive response untuk diet
pembatasan protein, seperti yang telah jelas didemonstrasikan dalam model hewan, CKD, dan pasien dialisis, dan tampaknya menguntungkan pada perkembangan CKD. Resistensi insulin adalah terkait dengan pemecahan protein otot di stadium akhir penyakit ginjal dan dapat membaik setelah 3 bulan diet rendah protein (Low Protein Diet). Data eksperimen terbaru menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen urea darah (BUN) menginduksi produksi spesies oksigen reaktif dan meningkatkan resistensi insulin.
peningkatan dependensi, mortalitas, dan morbiditas pada pasien. Dari sudut pandang dasar, kita harus mencari hubungan langsung antara pengurangan asupan protein dan
atrofi otot. Sayangnya, pendekatan ini tidak secara klinis relevan: muscle wasting pada penyakit kronis terutama disebabkan ketidakseimbangan antara sintesis protein dan degradasi, dan akan lebih diperburuk dengan inaktifitas. Selain itu, asidosis dan aktivasi ubiquitin-proteasome pathway berkaitan dengan inflamasi dan resistensi insulin yang merupakan faktor utama dari muscle wasting. Mengurangi asupan protein merupakan hal yang dapat meningkatkan kondisi katabolik. Memang, kontrol yang lebih baik dari asidosis metabolik akibat penurunan beban asam mengarah ke normalisasi adaptive response untuk diet
pembatasan protein, seperti yang telah jelas didemonstrasikan dalam model hewan, CKD, dan pasien dialisis, dan tampaknya menguntungkan pada perkembangan CKD. Resistensi insulin adalah terkait dengan pemecahan protein otot di stadium akhir penyakit ginjal dan dapat membaik setelah 3 bulan diet rendah protein (Low Protein Diet). Data eksperimen terbaru menunjukkan bahwa peningkatan nitrogen urea darah (BUN) menginduksi produksi spesies oksigen reaktif dan meningkatkan resistensi insulin.
Asupan Proten dan Stres Oksidatif
Stres oksidatif dan peningkatan regulasi metabolisme oksidatif merupakan
salah satu faktor utama yang bertanggung jawab untuk sarcopenia pada
penyakit kronis dan penuaan.
Data terakhir menunjukkan bahwa stres
oksidatif berhubungan dengan gangguan
fungsi otot yang parah walaupun tanpa disertai atrofi
otot. Selain itu,
stres oksidatif mungkin merupakan
salah satu faktor utama yang memperburuk glomerulosklerosis dan fibrosis selama
CKD. Asupan protein
rendah memberikan perlindungan
terhadap stres oksidatif. Pada pasien CKD yang diobati dengan LPD atau diberikan asupan protein yang sangat
rendah (Supplemented Very Low Protein Diet),
studi jangka panjang pada komposisi
tubuh
tidak menemukan efek buruk dari diet tersebut pada otot atau pada lean body mass.
tidak menemukan efek buruk dari diet tersebut pada otot atau pada lean body mass.
Kualitas asupan protein (dan
tidak hanya kuantitas) harus juga ditangani.
Pertama, meskipun perdebatan dan kontroversi, studi klinis pada pasien yang menerima LPD (0,6-0,8 g / kg / hari)
atau SVLPD (0,3-0,6 g / kg / hari, ditambah dengan asam amino atau keto-analog) adalah nutrisi yang aman, tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi, sebagai respons terhadap adaptasi metabolik yang memadai. Dalam Modifikasi Diet pada penelitian Penyakit Ginjal, 9 bulan setelah selesai penelitian, didapatkan mean serum albumin adalah 42 g / l, dan pada 239 pasien dari Bordeaux kohort, hanya dua pasien yang menghentikan diet SVLPD
untuk alasan kekurangan gizi, sedangkan serum albumin rata-rata pada awal terapi penggantian ginjal adalah 39 g / l.
atau SVLPD (0,3-0,6 g / kg / hari, ditambah dengan asam amino atau keto-analog) adalah nutrisi yang aman, tidak ada kasus gizi buruk yang terjadi, sebagai respons terhadap adaptasi metabolik yang memadai. Dalam Modifikasi Diet pada penelitian Penyakit Ginjal, 9 bulan setelah selesai penelitian, didapatkan mean serum albumin adalah 42 g / l, dan pada 239 pasien dari Bordeaux kohort, hanya dua pasien yang menghentikan diet SVLPD
untuk alasan kekurangan gizi, sedangkan serum albumin rata-rata pada awal terapi penggantian ginjal adalah 39 g / l.
Keuntungan dari dukungan nutrisi
Kebanyakan pasien yang memulai terapi penggantian ginjal tanpa melakukan
follow up diet sebelumnya menunjukkan adanya gejala malnutrisi,
misalnya, kehilangan berat badan, perubahan pada antropometri, dan parameter nutrisi laboratorium. Adanya perawatan gizi yang terencana sebelumnya tampaknya
menjadi faktor protektif utama
terhadap progresifitas dari wasting.
Pertama, dukungan nutrisi dan informasi pasien adalah
faktor kunci untuk memastikan motivasi
dan kepatuhan terhadap diet.
Fakta ini telah dijelaskan
pada Campbell et al.,
menggunakan analisis komposisi tubuh dan
penilaian global secara subjektif.
Kedua, pada uji klinis, LPD biasanya
terdiri dari Protein 50% dari nilai biologis
yang tinggi (seperti daging, ikan, atau telur).
Dalam kasus CKD dengan pemberian SVLPD, tidak
ada gizi buruk yang terjadi dan
pada survei jangka panjang
selama atau setelah dimulainya terapi penggantian ginjal
tidak menunjukkan adanya risiko
yang relatif lebih besar dari
kematian.
Ketiga, pada penelitian
menggunakan hewan sebagai bahan percobaan dan penelitian pada
pasien usia lanjut diperlukan perhatian pada kualitas protein dan
pentingnya asupan asam amino. Memang,
pada orang tua, asupan protein lebih tinggi dari 0,8 g / kg / hari untuk menghindari sarcopenia karena resistensi relatif
otot terhadap efek anabolik dari beban asam amino.
Namun, resistensi ini dapat
dihambat dengan menggunakan campuran asam amino, terutama
yang diperkaya dengan asam
amino rantai cabang, yaitu leusin, isoleusin,
dan valine. Sebuah bukti tidak langsung menunjukkan adanya pengaruh
asam amino pada
CKD terkait dengan sarcopenia yang tercermin pada pengamatan bahwa, pada pasien dialisis,
resistensi training effect pada
metabolisme otot ditingkatkan bila dikombinasikan dengan nutrisi parenteral
intradialisis. Pada pasien tua, sarcopenia
sebagian disebabkan oleh peningkatan stres oksidatif. Pada tikus yang dilakukan nefroktomi, peningkatan stres oksidatif disebabkan oleh kekurangan gizi protein yang merusak barrier filtrasi dari glomerulus
dan suplementasi dengan asam
keton.
Sehingga, studi klinis menggunakan LPD atau SVLPD perlu dipertimbangkan atau diberikan pada asupan
energi. Survei diet khusus
dilakukan untuk memastikan jumlah kalori yang cukup, misalnya, 35 kcal / kg / hari. Kesimpulannya,
efek menguntungkan dari mengurangi
asupan protein dengan nilai-nilai
yang optimal dikaburkan oleh kurangnya kepercayaan dokter, ahli diet, dan
tingkat pendidikan pasien. Dukungan
nutrisi harus diberikan dan
memiliki biaya yang rendah untuk keperluan terapi dalam jangka waktu yang lama.
Protein-Energy Wasting: Bagaimana cara
memonitoring risiko nutrisi dan meningkatkan outcome?
Salah satu efek samping utama dari penyakit ginjal adalah anoreksia
dan pengurangan asupan
protein-energi dalam tubuh yang sudah ada pada tahap III
dari CKD dan selama dialysis. Sejumlah orexigenic
atau hormon anorexigenic
dysregulations (leptin, ghrelin, peptida YY,
dan obestatin) telah
dibuktikan dapat berperan dalam terjadinya anoreksia
pada orang dewasa yang sehat dan pasien. Pemberian ghrelin rekombinan selama 7
hari telah menunjukkan peningkatan asupan energi makanan sebesar 25% pada
kasus malnutrisi pada pasien
hemodialisis. Menariknya, Cheung et al. Menyatakan disfungsi hypothalamic appetite-regulating sensors
hemodialisis. Menariknya, Cheung et al. Menyatakan disfungsi hypothalamic appetite-regulating sensors
Subscribe to:
Comments (Atom)