Sunday, April 26, 2015

Tinjauan Pustaka : Chronic Kidney Disease

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah masalah kesehatan yang umum ditemui di masyarakat dan diketehui memiliki keterkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal kronis (chronic renal failure atau CRF).  The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal kronis sebagai kerusakan ginjal atau tingkat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu ≥3 bulan yang disertai dengan kerusakan struktur ginjal. Adapun etiologi yang mendasari, yakni kerusakan massa ginjal dengan sklerosis ireversibel dan hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas GFR. Pada tahun 2002, K/DOQI menerbitkan klasifikasi tahap penyakit ginjal kronis, sebagai berikut: Stage 1: Kerusakan ginjal dengan normal atau peningkatan GFR (≥ 90 mL/min/1.73 m2), Stage 2: Penurunan GFR Ringan (60-89 mL/min/1.73 m2), Stage 3: Penurunan GFR Moderat (30-59 mL/min/1.73 m2), Stage 4: Penurunan GFR berat (15-29 mL/min/1.73 m2), Satge 5: Gagal Ginjal (GFR ≤15 mL/min/1.73 m2).1
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis stage 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5. Dalam menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif, GFR dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan kompensasi hipertropi nefron sehat yang tersisa. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah total GFR menurun hingga 50%, dimana kompensasi ginjal sudah tidak mampu lagi. Nilai Kreatinin plasma dapat meningkat dua kali lipat dari nilai dasar 0.6 mg/dL-1.2 mg/dl dengan pengurangan 50% dari GFR. 1,2
Pada penyakit ginjal kronis, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan menyebakan berbagai gejala secara sistemik. Hiperkalemia yang biasa terjadi pada pasien CKD berkembang ketika GFR kurang dari 20-25 mL/min oleh karena berkurangnya kemampuan ginjal mengeluarkan kalium. Pada penyakit ginjal kronis stadium 5, ginjal tidak dapat mengekskresikan cukup amonia di tubulus proksimal untuk mengeluarkan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium, sehingga akumulasi fosfat, sulfat, dan anion organik menyebabkan asidosis metabolik. 2,3
Pengaturan air dan elektrolit oleh ginjal terganggu, sehingga volume ekstraselular akan meningkat dan terjadi peningkatan volume tubuh oleh karena gagalnya ekskresi sodium dan air oleh ginjal. Hal ini biasanya terlihat bila GFR berada dibawah 10-15 mL/min dimana ginjal tidak mampu lagi mengatur keseimbangan cairan. Dengan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, retensi sodium dan peningkatan volume ekstraseluler akan menimbulkan edema, edema paru, dan hipertensi pada pasien CKD. 1
Anemia merupakan salah satu komplikasi pada CKD, terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin, hormon yang bertanggung jawab dalam merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah (eritropoiesis). Sedangkan kelainan tulang yang terjadi adalah komplikasi umum dari gagal ginjal kronis yang disebabkan oleh karena komplikasi dalam kerangka (intraskeletal, misalnya mineralisasi atau peningkatan bone turnover) dan diluar kerangka (ekstraskeletal, misalnya kalsifikasi vaskular atau jaringan halus. 1,4
Pada CKD, diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan penyakit yang mendasari sangatlah penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Meskipun CKD merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya. 1,2









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Deskripsi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal1. Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik2. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal 1,2.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain1 :
1.     Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
a.     kelainan patologis
b.     terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2.     Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.3
2.2       Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut1:
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit1
Derajat
Penjelasan
LFG(ml/mnt/1,73m²)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
> 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFGringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFGsedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFGberat
15- 29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi1
Penyakit
Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

2.3       Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun1.2.

2.4       Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.1
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1

2.5       Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyaki ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel 4.1
            Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.1,2,3

Tabel 3. Penyebab Utama PGK di Amerika Serikat (1995 –1999)1
Penyebab
Insiden
Diabetes mellitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis interstitial
4%
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik (misal lupus, dan vaskulitis)
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%
Tabel 4. Penyebab PGK yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia th. 20001
Penyebab
Insiden
Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes mellitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%

1. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif  dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma.
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.



2. Diabetes melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%. .

2.6       Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronik akan menyebabkan beberapa gangguan pada berbagai organ tubuh:1,2
  • Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan). Edema periorbital, friction rub pericardial, dan pembesaran vena jugularis, gagal jantung, perikarditis, takikardia dan disritmia.
  • Sistem Integumen
Tanda dan gejala : Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal pada kulit.
  • Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala : Sputum kental, nafas dangkal, pernafasan  kusmaul, udem paru, gangguan pernafasan, pneumonia, nafas berbau amoniak, sesak nafas.
  • Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala : Ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal, stomatitis dan pankreatitis.
  • Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku, malaise serta penurunan kesadaran.
  • Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop, osteosklerosis, dan osteomalasia.
  • Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia, distropi renal, hematuria, proteinuria, anuria, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
  • Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.

2.7       Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi1,3,6:
a.     Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),dll.
b.     Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.4
c.     Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi1,3,4:
a.     Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b.     Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c.     Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
d.     Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi1,3,4:
a.     Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b.     Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c.     Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d.     Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e.     Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.6




Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1

2.8       Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik meliputi1:
a.       Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunann GFR, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b.      Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR pada pasien gagal ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktu urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahkan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c.       Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan asupan protein
d.      Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e.       Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 5. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK Sesuai dengan Derajatnya
Derajat
LFG(ml/mnt/1,73m²)
Rencana tatalaksana
1
> 90
terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler
2
60-89
menghambat pemburukan (progession) fungsi ginjal
3
30-59
evaluasi dan terapi komplikasi
4
15-29
persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5
<15
terapi pengganti ginjal

Terapi Nonfarmakologis1,6:
a.     Pengaturan asupan protein:

Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik1
LFG ml/menit
Asupan protein g/kg/hari
Fosfat g/kg/hari
>60
tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
25-60
0,6-0,8/kg/hari
≤ 10 g
5-25
0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
≤ 10 g
<60 (sindrom nefrotik)
0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton.
≤ 9 g

b.     Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
c.     Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d.     Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e.     Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f.      Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g.     Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h.     Kalsium: 1400-1600 mg/hari
i.      Besi: 10-18mg/hari
j.      Magnesium: 200-300 mg/hari
k.     Asam folat pasien HD: 5mg
l.      Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis1,2,3,6:
a.     Kontrol tekanan darah
·  Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
·  Penghambat kalsium
·  Diuretik
·  Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
b.     Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c.     Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada penyakit ginjal kronis terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.
d.     Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitriol
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi.
Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien penyakit ginjla kronik dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent.
e.     Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.
f.      Pengendalian Gangguan Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hiperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hiperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi (1) diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayura rendah; (2) menghindari pemakaian diuretika K-sparring. Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu:
1.   Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
2.   Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
3.   Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa
4.   Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
g.     Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h.     Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada GFR kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis, atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml.menit. Dianjurkan pmebuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.

2.9 Prognosis
Secara garis besar prognosis dari GGK yang tidak ditangani adalah buruk. Kebanyakan pasien dengan GGK akan meninggal dengan komplikasi penyakit kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak tersedia maka akan terjadi sindrom uremia yang progresif (hiperkalemia, asidosis, malnutrisi, perubahan fungsi mental). Diantara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal, penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab mortalitas tersering kira-kira 40 % dari populasi. Volume ekstraseluler yang overload dan hipertensi diketahui sebagai faktor prediktor terjadinya hipertropi ventrikular kiri dan peningkatan risiko mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler di populasi. Setelah disesuaikan dengan umur, ras, jenis kelamin, dan etnik, dan keberadaan diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler tetap menjadi penyebab kematian tertinggi terutama pada pasien muda.1,4