BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronis
atau Chronic Kidney Disease (CKD)
adalah masalah kesehatan yang umum ditemui di masyarakat
dan diketehui memiliki
keterkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan gagal ginjal
kronis (chronic renal failure atau
CRF). The Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF)
mendefinisikan penyakit ginjal kronis sebagai kerusakan ginjal atau tingkat penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam
waktu ≥3 bulan yang
disertai dengan kerusakan struktur ginjal. Adapun etiologi yang mendasari, yakni kerusakan massa ginjal dengan sklerosis ireversibel
dan hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas GFR. Pada tahun
2002, K/DOQI menerbitkan klasifikasi tahap penyakit ginjal kronis, sebagai
berikut: Stage 1: Kerusakan
ginjal dengan normal atau peningkatan GFR (≥ 90 mL/min/1.73 m2), Stage 2: Penurunan GFR Ringan (60-89
mL/min/1.73 m2), Stage 3: Penurunan GFR Moderat (30-59
mL/min/1.73 m2), Stage
4: Penurunan GFR berat (15-29 mL/min/1.73 m2), Satge 5: Gagal Ginjal (GFR ≤15
mL/min/1.73 m2).1
Pasien dengan penyakit
gagal ginjal kronis stage 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan
manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5. Dalam menghadapi cedera,
ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif, GFR
dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan kompensasi hipertropi nefron sehat yang tersisa. Kandungan toksin
dalam plasma seperti
urea dan kreatinin
mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah total GFR menurun
hingga 50%, dimana kompensasi ginjal sudah tidak mampu lagi. Nilai Kreatinin plasma dapat
meningkat dua kali lipat dari nilai dasar 0.6 mg/dL-1.2 mg/dl dengan
pengurangan 50% dari GFR. 1,2
Pada penyakit ginjal
kronis, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan menyebakan berbagai
gejala secara sistemik. Hiperkalemia yang biasa terjadi pada pasien CKD
berkembang ketika GFR kurang dari 20-25 mL/min oleh karena berkurangnya
kemampuan ginjal mengeluarkan kalium. Pada penyakit ginjal kronis stadium 5,
ginjal tidak dapat mengekskresikan cukup amonia di tubulus proksimal untuk mengeluarkan asam
endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium, sehingga akumulasi fosfat, sulfat,
dan anion organik menyebabkan asidosis metabolik. 2,3
Pengaturan air dan
elektrolit oleh ginjal terganggu, sehingga volume ekstraselular akan meningkat dan terjadi peningkatan volume tubuh oleh karena
gagalnya ekskresi sodium dan air oleh ginjal. Hal ini biasanya terlihat bila
GFR berada dibawah 10-15 mL/min dimana ginjal tidak mampu lagi mengatur
keseimbangan cairan. Dengan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, retensi
sodium dan peningkatan volume ekstraseluler akan menimbulkan edema, edema paru, dan hipertensi pada pasien CKD. 1
Anemia merupakan salah satu komplikasi pada CKD, terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin, hormon yang
bertanggung jawab dalam merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah
merah (eritropoiesis).
Sedangkan kelainan tulang yang terjadi adalah komplikasi umum dari gagal ginjal
kronis yang disebabkan oleh karena komplikasi dalam kerangka (intraskeletal,
misalnya mineralisasi atau peningkatan bone turnover) dan diluar
kerangka (ekstraskeletal,
misalnya kalsifikasi vaskular atau jaringan halus. 1,4
Pada CKD, diagnosis dini,
modifikasi pola hidup, dan pengobatan penyakit yang mendasari sangatlah penting
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Meskipun CKD
merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan
dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya. 1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi
Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal1.
Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak
yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi
glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program
penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus dan
hipertensi sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik2.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian
dan hebatnya tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan
pasien yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan
massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal 1,2.
Kriteria
Penyakit Ginjal Kronik antara lain1 :
1.
Kerusakan
ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
a. kelainan patologis
b. terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging
tests)
2.
Laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih
dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk
kriteria penyakit ginjal kronik.3
2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua
hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis
etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut1:
*)
pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
atas Dasar Derajat Penyakit1
|
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG(ml/mnt/1,73m²)
|
|
1
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG normal atau ↑
|
> 90
|
|
2
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG↓ ringan
|
60-89
|
|
3
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG↓ sedang
|
30-59
|
|
4
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG↓ berat
|
15- 29
|
|
5
|
Gagal
ginjal
|
< 15 atau dialisis
|
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
atas dasar Diagnosis Etiologi1
|
Penyakit
|
Tipe mayor (contoh)
|
|
Penyakit ginjal diabetes
|
Diabetes tipe 1 dan 2
|
|
Penyakit ginjal non diabetes
|
Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
|
|
Penyakit pada transplantasi
|
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
|
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan
insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk
pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia,
dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun1.2.
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya
kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron
intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis
renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.1
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG
dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1
2.5 Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronik
sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan
penyebab utama dan insiden penyaki ginjal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel 4.1
Dikelompokkan
pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.1,2,3
Tabel 3. Penyebab Utama PGK di Amerika
Serikat (1995 –1999)1
|
Penyebab
|
Insiden
|
|
Diabetes mellitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
|
44%
|
|
Hipertensi dan penyakit
pembuluh darah besar
|
27%
|
|
Glomerulonefritis
|
10%
|
|
Nefritis interstitial
|
4%
|
|
Kista dan penyakit bawaan lain
|
3%
|
|
Penyakit sistemik (misal lupus, dan vaskulitis)
|
2%
|
|
Neoplasma
|
2%
|
|
Tidak diketahui
|
4%
|
|
Penyakit lain
|
4%
|
Tabel 4. Penyebab PGK yang Menjalani
Hemodialisis di Indonesia th. 20001
|
Penyebab
|
Insiden
|
|
Glomerulonefritis
|
46,39%
|
|
Diabetes
mellitus
|
18,65%
|
|
Obstruksi
dan infeksi
|
12,85%
|
|
Hipertensi
|
8,46%
|
|
Sebab lain
|
13,65%
|
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronik merupakan
penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti lupus
eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener.
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus
(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit
ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering
dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis,
lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma.
Istilah glomerulonefritis digunakan
untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara
umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan
sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.
Gambaran klinis glomerulonefritis
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin
rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan
terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
2. Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes
melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya.
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah
satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial berat yang
berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%. .
2.6 Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronik akan menyebabkan
beberapa gangguan pada berbagai organ tubuh:1,2
- Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting
edema (kaki, tangan). Edema periorbital, friction rub pericardial, dan pembesaran vena jugularis, gagal
jantung, perikarditis,
takikardia dan disritmia.
- Sistem Integumen
Tanda dan gejala : Warna kulit abu – abu
mengkilat, kulit kering bersisik, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut
tipis dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal pada kulit.
- Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala : Sputum kental, nafas
dangkal, pernafasan kusmaul, udem paru, gangguan pernafasan, pneumonia,
nafas berbau amoniak, sesak nafas.
- Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala : Ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal, stomatitis dan pankreatitis.
- Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan
keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan konsentrasi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku, malaise serta
penurunan kesadaran.
- Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan
otot hilang, fraktur tulang, foot drop,
osteosklerosis, dan osteomalasia.
- Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria,
hiperkalemia, distropi renal, hematuria, proteinuria, anuria, hipokalsemia dan
hiperfosfatemia.
- Sistem Reproduktif
Tanda
dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.
2.7 Pendekatan Diagnostik
Gambaran
Klinis
Gambaran
klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi1,3,6:
a.
Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),dll.
b.
Sindrom uremia
yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.4
c.
Gejala
komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran
Laboratorium
Gambaran
laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi1,3,4:
a.
Sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya
b.
Penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal.
c.
Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
d.
Kelainan
urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.
Gambaran
Radiologis
Pemeriksaan
radiologis penyakit GGK meliputi1,3,4:
a.
Foto polos
abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b.
Pielografi
intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
c.
Pielografi
antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d.
Ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
e.
Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.6
Biopsi
dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan
pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil
terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada
keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan
obesitas.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penyakit gagal ginjal kronik meliputi1:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi
penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunann GFR, sehingga perburukan
fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG,
biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang
tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai
20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan
mencatat kecepatan penurunan GFR pada pasien gagal ginjal kronik. Hal ini untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktu urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahkan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan
ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan asupan protein
d. Pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.
Tabel 5. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK
Sesuai dengan Derajatnya
|
Derajat
|
LFG(ml/mnt/1,73m²)
|
Rencana tatalaksana
|
|
1
|
> 90
|
terapi
penyakit dasar, kondisi komorbid, fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
|
|
2
|
60-89
|
menghambat
pemburukan (progession) fungsi ginjal
|
|
3
|
30-59
|
evaluasi
dan terapi komplikasi
|
|
4
|
15-29
|
persiapan
untuk terapi pengganti ginjal
|
|
5
|
<15
|
terapi
pengganti ginjal
|
Terapi
Nonfarmakologis1,6:
a.
Pengaturan
asupan protein:
Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat
pada Penyakit Ginjal Kronik1
|
LFG ml/menit
|
Asupan protein g/kg/hari
|
Fosfat g/kg/hari
|
|
>60
|
tidak
dianjurkan
|
Tidak dibatasi
|
|
25-60
|
0,6-0,8/kg/hari
|
≤ 10 g
|
|
5-25
|
0,6-0,8/kg/hari
atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton
|
≤ 10 g
|
|
<60 (sindrom nefrotik)
|
0,8/kg/hari(=1
gr protein /g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton.
|
≤ 9 g
|
b.
Pengaturan
asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
c.
Pengaturan
asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d.
Pengaturan
asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e.
Garam (NaCl):
2-3 gram/hari
f.
Kalium: 40-70
mEq/kgBB/hari
g.
Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h.
Kalsium:
1400-1600 mg/hari
i.
Besi:
10-18mg/hari
j.
Magnesium:
200-300 mg/hari
k.
Asam folat
pasien HD: 5mg
l.
Air: jumlah
urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
Terapi
Farmakologis1,2,3,6:
a.
Kontrol tekanan
darah
· Penghambat Ensim
Konverting
Angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor) atau antagonis reseptor
Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
· Penghambat kalsium
· Diuretik
· Beberapa
obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE
inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi
kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat
diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
b.
Pada pasien DM,
kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C
untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2
adalah 6%
c.
Koreksi anemia
dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada penyakit ginjal kronis terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya
anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna,
hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi
evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik
harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi
ginjal.
d.
Kontrol
hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitriol
Pemberian
diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena
fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu
dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi.
Pemberian
pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien penyakit ginjla kronik dengan
hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium,
aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral,
untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
Pemberian
bahan kalsium mimetic (calcium mimetic
agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini
disebut juga calcium mimetic agent.
e.
Koreksi
asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis
menyebabkan keluhan mual, lemah, air
hunger dan drowsiness. Pengobatan
intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat,
sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.
f.
Pengendalian Gangguan Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa
Gangguan
keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hiperkalemia dan asidosis.
Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan
gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hiperkalemia membahayakan jiwa.
Pencegahan meliputi (1) diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk,
tomat) serta sayura rendah; (2) menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu:
1. Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10%
Ca gluconate)
2. Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
3. Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4
unit aktrapid tiap 10 gram glukosa
4. Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4%
NaHCO3)
g.
Kontrol
dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h.
Terapi pengganti ginjal
Terapi
pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
GFR kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialysis, atau
transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan
sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml.menit. Dianjurkan pmebuatan akses
vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.
2.9 Prognosis
Secara garis besar prognosis dari GGK
yang tidak ditangani adalah buruk. Kebanyakan pasien dengan GGK akan meninggal
dengan komplikasi penyakit kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak
tersedia maka akan terjadi sindrom uremia yang progresif (hiperkalemia,
asidosis, malnutrisi, perubahan fungsi mental). Diantara pasien yang menjalani
terapi pengganti ginjal, penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab mortalitas
tersering kira-kira 40 % dari populasi. Volume ekstraseluler yang overload dan
hipertensi diketahui sebagai faktor prediktor terjadinya hipertropi ventrikular
kiri dan peningkatan risiko mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler di
populasi. Setelah disesuaikan dengan umur, ras, jenis kelamin, dan etnik, dan
keberadaan diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler tetap menjadi penyebab
kematian tertinggi terutama pada pasien muda.1,4